Oleh : H. Zainol Hasan[1]
Kiai Abdul Wahid Khudzaifah (Allah Yarhamhu) lahir sekitar 1929 di Pondok Pesantren Langgar Genting Prajjan Sampang. Ia adalah putra dari pasangan KH. Ahmad Khudzaifah Qs. bin KH. Banu Rahmat dan Nyai Hj Rahbiyah binti KH. Zainal Abidin.[2] Ia dilahirkan di lingkungan yang taat beragama, serta terbiasa dengan pendidikan agama dan budaya pesantren. Oleh karena itu, ilmu-ilmu dasar baca al-Quran, sudah ia dapatkan dari lingkungan keluarga.
Pengembaraan intelektualnya, dimulai semenjak Abdul Wahid muda berusia 6 tahun. Pada mulanya, ia belajar di Pesantren Prajjan Camplong Sampang karena jaraknya yang berdekatan. Walalupun berstatus santri, ia termasuk keluarga besar pesantren. Maklum, ibunya, Nyai Hj. Rahbiyah, adalah salatu cucu dari KH Shabrawi, pengasuh PP Prajjan. Di Pesantren ini, ia belajar Ilmu-ilmu dasar bahasa Arab, khusunya ilmu nahwu sorrof, kepada Syaikh Ahmad Mudhar dan Kiai Syamlawi.
Sebagaimana tradisi keluarga kiai, Abdul Wahid muda tidak mencukupkan ilmunya di pesantren keluarga saja. Pada usia 17 tahun, ia melanjutkan pengembaraan intelektualnya dengan belajar di Pondok Pesantren Miftahul Ulum Bettet Pamekasan, asuhan KH Sirajuddin bin KH Nashruddin.[3] Di pondok ini, semangat (ghirah) belajarnya cukup tinggi dan intes, khususnya pada bidang ilmu nahwu. Di pondok ini pula potensi dan bakat “melek literasi”-nya juga berkembang dengan baik. Ini terbukti, pada saat usia 20 tahun, ia telah mampu menghasilkan karya di bidang (fan) ilmu nahwu berupa syair seribu bait yang diberi nama Bustān al- Syubbān. Karya ini, selanjutnya di perpendek hanya berisi bidang (fan) sharraf saja dengan namaIqāmatul Abniyyah.
Di Pesantren Miftahul Ulum, Abdul Wahid muda bertahan sampai 8 tahun dan berakhir ketika ia dinikahkan dengan seorang puteri bernama Syafiah, yang tak lain adalah cucu dari KH. Sirajuddin sendiri pada 1954. Usai menikah, Ia tidak langsung pulang ke Prajjan, tetapi masih diberi tugas untuk mengajar di Pesantren Miftahul Ulum Bettet Pamekasan selama dua tahun.
Setelah selesai melaksanakan tugas mengajar di pondok pesantren Miftahul Ulum, Abdul Wahid muda bersama istrinya “pulkam” (pulang kampung) atau boyongan ke rumah ayahandanya, Pesantren Al-Bustan Sumber Papan di Larangan Badung Pamekasan.Di sini, ia melanjutkan perjuangan ayahandanya, KH. Khudzaifah bin KH. Banu Rahmat, sebagai pengajar pesantren sekaligus mulai berkiprah di pengabdian masyarakat, yaitu sebagai pengajar (juru dakwah) ke kampung-kampung di tengah-tengah masyarakat. Di Pesantren Al-Bustan, ia bertahan sekitar tiga tahun. Dan pada 1959, atas saran para kiai, permintaan tokoh masyarakat, dan kebutuhan sosok ulama yang paham agama, pasangan Kiai Abdul Wahid Khudzaifah muda dan Nyai Syafiah, hijrah ke Desa Gersempal, Kecamatan Omben, Sampang.
Di Desa Gersempal, Kiai Abdul Wahid Khudzaifah langsung “tancap gas” mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat, utamanya pada generasi muda. Di bidang kelembagaan, pada mulanya, ia mendirikan majelis taklim yang disebut dengan istilah Tabligh Jam’iyah. Kemudian berkembang menjadi pesantren yang pada pembukaan awalnya, hanya 20 orang santri. Selanjutnya, santri semakin banyak hingga 400 santri, dan kini sudah ribuan santri. Pesantren yang dikembangkan itu, atas saran gurunya, ia namakan Pondok Pesantren Darul Ulum (tempat ilmu pengetahuan).
Kiai Abdul Wahid Khudzaifah tidak hanya fokus mengembangkan pesantren dan mengajar agama kepada santri. Beliau kembali berdakwah kepada masyarakat dan keliling dari kampung ke kampung, dari desa ke desa, bahkan merambah hingga ke luar Madura. Kegiatan dakwah semakin intensif dan terapresiasi ketika ia juga aktif di NU sejak tahun 1962. Di organisasi ini, ia aktif di bidang kegiatan bahtsul masail. Ia cukup piawai dalam memecahkan persoalan yang dialami masyarakat saat itu. Semua permasalahan status hukum dalam ajaran Islam dikupas tuntas dan dicarikan solusinya. “Karir” dan prestasi yang diraih di NU, ia adalah Rois Syuriyah PCNU Sampang pada 1980.
Pada tahun 1963, Kiai Abdul Wahid Khudzaifah juga memperdalam ilmu Tarekat Naqsyabandiyah kepada gurunya, KH Ali Wafa Muharrar, mursyid jamaah Tarekat Naqsyabandiyah di Kecamatan Ambunten, Sumenep. Selama belajar tarekat, ia tidak datang setiap hari ke Sumenep, melainkan sepekan sekali karena masih mengajar di Pesantren Darul Ulum dan mengisi pengajian. “Karir”nya di bidang ini, ia menerima ijazah kemursyidan dari gurunya pada hari jum’at, 13 Maret 1964 M atau 28 Syawwal 1383 H., dan ia berada di urutan ke 45 dalam silsilahmursyid Tarekat Naqsyabandiyah Ahmadiyah Mudzhariyah.
Karena itu, Kiai Abdul Wahid Khudzaifah tidak hanya dikenal pintar (‘alim) dalam ilmu-ilmu fiqh, tetapi juga dikenal ulama yang alim di bidang ilmu Tasawwuf, khususnya sebagai mursyid dalam Tarekat Naqsyabandiyah. Ia juga mengajarkan dan membai’at jamaah yang akan masuk Tarekat Naqsyabandiyah Ahmadiyah Mudzhariyah atau sekarang dikenal dengan Tarekat Naqsyabandiyah Gersempal.
Di samping mengabdi di Masyarakat, Kiai Abdul Wahid Khudzaifah juga memiliki bakat dan keterampilan di bidang tulis-menulis. Hasil karyanya banyak dipakai sebagai “materi kurikulum” di pondok-pondok pesantren dan madrasah. Di bawah ini nama-nama karya bibliografis beliau yang sempat terekam jejaknya, yaitu:
No | Nama Kitab | Bidang ilmu (fan) |
1. | Iqomatul Abniyah (nadham) | ilmu shorof |
2. | Bustān al- Syubbān, | ilmu nahwu |
3. | Zahratul Maidan, penjelas (syarah) dari Bustān al- Syubbān. | ilmu nahwu |
4. | Al-Ni’am Fi Nadhm al-Hikam | Ilmu tasawwuf |
5. | Al Anwār al-Sāthi’ah | Ilmu balaghah |
6. | Milh al-Bayān | balagah, |
7. | Alminah al-Ladunniyah, penjelas (syarah) dari Farāidul Bahiyah | Ilmu Qawaid al-fiqh |
8. | Taisirul Murodat, penjelas (syarah) dari Waraqāt | Ushul Fiqh |
9. | Kasyful Ghawamidu | ilmu faroid, |
10. | Madzhahibul Arba’ (belum selesai)* | Ilmu Fiqh |
*Kitab ini belum rampung karena ia kedahuluan wafat.
Kiai Abdul Wahid Khudzaifah bin Khudzaifah dikaruniai tiga orang anak, yaitu: Almarhumah Nyai Hj. Salimah Abdul Wahid Khudzaifah (PP. Nahdlatullab Taman Anom Omben Sampang), KH. Syafiuddin Abdul Wahid Khudzaifah (PP. Darul Ulum Gersempal Omben Sampang), dan KH. Ahmad Jakfar Abdul Wahid Khudzaifah (PP. Darul Ulum II Al-Wahidiyah Gersempal Omben Sampang). Hadratus Syaikh Abdul Wahid Khudzaifah bin Khudzaifah Qs. wafat pada tahun 1990.
Sumber Rujukan:
Sumber Jawa Pos Radar Madura dan diolah lagi dari berbagai sumber
BIODATA PENULIS
Drs. H. Zainol Hasan, M.Ag.

Alumni PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Setelah melanjutkan ke Fakultas Tarbiyah IAIN (kini UIN Malik Ibrahim) Malang dan PPS IAIN (kini UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, ia Aktif di PCNU Pamekasan mulai 2006 – sekarang. Aktifitas sehari-hari, saat ini, sebagai Wakil Dekan 3 Fak. Tarbiyah IAIN Madura. Diantara karyanya: “Paradigma Pendidikan Islam.
[1] Penulis adalah Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Madura yang juga Wakil Ketua PCNU Pamekasan.
[2] KH. Zainal Abidin memiliki Saudara bernama KH. Ahmad Syabrowi dan Saudari bernama Nyai Aisyah. Baik KH. Zainal Abidin, KH. Ahmad Syabrowi, maupun Nyai Aisyah, ketiganya adalah MursyidatauMursyidah Thoriqoh Naqsyabandiyah Ahmadiyah Mudzhariyah.
[3]KH Sirajuddin bin KH Nashruddin adalah pendiri PP Miftahul Ulum Bettet Pamekasan pada 1912. Dugaan kuat, ia adalah sahabat KH Abd. Wahab Hasbullah ketika sama-sama mondok di Mekkah. Maka, ketika organisasi NU melebarkan sayapnya di Madura, ia termasuk salah satu orang yang ditunjuk untuk mendirikan Cabang NU Pamekasan. Ia adalah pendiri sekaligus Rais pertama PCNU Pamekasan sampai ia wafat pada 1957M. Salah satu santrinya, KH Ahmad Syarqawi, Pengasuh PP Mastaratul Huda Panempan Pamekasan, pernah menjabat sebagai Rais PWNU Jawa Timur, menggantikan KH Mahrus Ali, Pengasuh PP Lirboyo Kediri.