Al-‘Aalim Al-‘Allaamah Asy-Syekh Al-Haajji Muhammad Kholil bin Abdul Lathif al-Bangkalani al-Maduri al-Jawi asy-Syafi’i (bahasa Arab: العالم العلامة الشيخ الحاج محمد خليل بن عبد اللطيف البنكلاني المادوري الجاوي الشافعي) atau lebih dikenal dengan nama Syaikhona Kholil atau Syekh Kholil, lahir di Kemayoran, Bangkalan, Bangkalan, sekitar tahun 1835 Masehi atau 9 Shofar 1252 Hijriyah[2] – wafat di Martajasah, Bangkalan, Bangkalan, sekitar tahun 1925 Masehi[3] adalah seorang Ulama kharismatik dari Pulau Madura, Provinsi Jawa Timur, Indonesia.
Di masyarakat santri, Syaikhona Kholil juga dikenal sebagai Waliyullah. Seperti cerita Wali Songo, banyak cerita kelebihan di luar akal atau karamah Syekh Kholil terkisah dari lisan ke lisan, terutama di lingkungan masyarakat Madura.[3]
Syekh Kholil al-Bangkalani berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH Abdul Lathif, mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ibu beliau Syarifah Khodijah putri Sayyid Asror Karomah bin Kiai Abdullah bin Ali Akbar bin Sayyid Sulaiman Kanigoro Mojoagung. Sayyid Sulaiman inilah yang merupakan anak dari Sayyid Zen Sunan Gunung Jati.[4] Al Husaini. sedangkan ayah Kiai Abdl Latif Adalah Kiai Hamim bin Muharram bin Abdul Karim Keturunan Kanjeng Sunan Giri bin maulana Ya’qub bin Maulana Ishaq Al Husaini
Pada usia 24 tahun, Syekh Kholil menikahi Nyai Asyik, putri Lodra Putih.
Syekh Kholil dididik dengan sangat ketat oleh ayahnya. Mbah Kholil kecil memiliki keistimewaan yang haus akan ilmu, terutama ilmu Fiqh dan nahwu. Bahkan ia sudah hafal dengan baik 1002 bait nadzam Alfiyah Ibnu Malik sejak usia muda.
Setelah dididik, orang tua Mbah Kholil kecil kemudian mengirimnya ke berbagai pesantren untuk menimba ilmu. Mengawali pengembaraannya, Mbah Kholil muda belajar kepada Kiai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan ia pindah ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian ke Pondok Pesantren Keboncandi. Selama belajar di Pondok Pesantren ini beliau belajar pula kepada Kiai Nur Hasan yang menetap di Pondok Pesantren Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Di setiap perjalanannya dari Keboncandi ke Sidogiri, ia tak pernah lupa membaca Surat Yasin.
Sewaktu menjadi santri, Mbah Kholil telah menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik. Disamping itu ia juga merupakan seorang Hafidz Al-Quran dan mampu membaca Al-Qur’an dalam Qira’at Sab’ah.
Saat usianya mencapai 24 tahun setelah menikah, Mbah Kholil memutuskan untuk pergi ke Makkah. Utuk ongkos pelayaran bisa ia tutupi dari hasil tabungannya selama nyantri di Banyuwangi, sedangkan untuk makan selama pelayaran, konon Mbah Kholil berpuasa. Hal tersebut dilakukannya bukan dalam rangka menghemat uang, akan tetapi untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah agar perjalanannya selamat.[4]
Sesuai namanya, kitab Al-Matnus Syarif al-Mulaqqab bi Fat-hil Latif ini merupakan kitab matan (inti) yang berbicara mengenai fundamen dasar hukum Islam (ilmu fiqih). Yang menarik dari kitab setebal 52 halaman ini, adalah bukan hanya karena kemasyhuran penulisnya, melainkan kitab ini telah menampilkan landscape keilmuan yang selama ini terkesan rumit, menjadi demikian lugas dan mudah difahami.[5]
Guru-gurunya
Syekh Kholil pernah berguru kepada beberapa ulama, di antaranya:[6][7]
- K.H. Abdul Lathif (Ayahnya)
- K.H. Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban
- K.H. Nur Hasan di Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan
- Syekh Nawawi al-Bantani di Mekkah
- Syekh Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi
- Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan di Mekkah
- Syeikh Mustafa bin Muhammad Al-Afifi Al-Makki di Mekkah
- Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud Asy-Syarwani di Mekkah
Murid Syaikhona Kholil
Berikut merupakan murid-murid dari Syekh Kholil:[4]
- K.H. Muhammad Hasan Sepuh – pendiri Pesantren Zainul Hasan Genggong, Probolinggo
- K.H. Hasyim Asy’ari – pendiri Nahdlatul ‘Ulama, pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang
- K.H. Musthofa – Pendiri Pondok Pesantren Tarbiyatut Tholabah, Kranji, Lamongan
- K.H Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah
- K.H Imam Zahid, Jombang, kakek buyut Emha Ainun Nadjib
- K.H. Romli Tamim, menantu K.H Hasyim Asy’ari, pendiri Pondok Pesantren Darul Ulum, Rejoso, Jombang
- K.H. Tamim Irsyad – Pendiri Pondok Pesantren Darul Ulum, Rejoso, Jombang.
- K.H. Abdul Wahab Hasbullah – pengasuh Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang
- K.H. Bisri Syamsuri – pengasuh Pondok Pesantren Denanyar, Jombang
- K.H. Manaf Abdul Karim – pendiri Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri
- K.H. Ma’sum – Lasem, Rembang
- K.H. Munawir – pendiri Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta
- K.H. Bisri Mustofa – pendiri Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang
- K.H. Nawawi bin K.H. Noerhasan bin K.H. Noerkhatim – pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan
- K.H. Ahmad Shiddiq – pengasuh Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyah, Jember
- K.H. As’ad Syamsul Arifin – pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Asembagus, Situbondo
- K.H. Abdul Majid bin K.H. Abdul Hamid Itsbat – Batabata, Pamekasan
- K.H. Toha – pendiri Pondok Pesantren Batabata, Pamekasan
- K.H. Abi Sujak – pendiri Pondok Pesantren Astatinggi, Kebunagung, Sumenep
- K.H. Usymuni – pendiri Pondok Pesantren Pandian, Sumenep
- K.H. Zaini Mun’im – Pendiri Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo
- K.H. Khozin – Buduran, Sidoarjo
- K.H. Abdullah Mubarok – pendiri Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya
- K.H. Mustofa – pendiri Pondok Pesantren Macan Putih, Blambangan
- K.H. Asy’ari – pendiri Pondok Pesantren Darut Tholabah, Wonosari, Bondowoso
- K.H. Sayyid Ali Bafaqih – pendiri Pondok Pesantren Loloan Barat, Bali
- K.H. Ali Wafa bin K.H. Abdul Hamid Itsbat – Pendiri Pondok Pesantren al-Wafa, Tempurejo, Jember
- K.H. Munajad – Kertosono, Nganjuk
- K.H. Abdul Fatah – pendiri Pondok Pesantren Al-Fattah, Tulungagung
- K.H. Zainul Abidin – Kraksaan, Probolinggo
- K.H. Zainuddin – Nganjuk
- K.H. Abdul Hadi – Lamongan
- K.H. Zainur Rasyid – Kironggo, Bondowoso
- K.H. Karimullah – pendiri Pondok Pesantren Curah Dami, Bondowoso
- K.H. Muhammad Thohir Jamaluddin – pendiri Pondok Pesantren Sumber Gayam, Madura
- K.H. Hasan Mustofa – Garut
- K.H. Ahmad Syaubari – Ciweudus, Kuningan
- K.H. Ahmad Syuja’i – Kudang, Tasikmalaya
- K.H. Raden Fakih Maskumambang – Gresik
- K.H. Hasbian abdurrahman pendiri pondok pesantren albadri gumuksari kalisat jember.
- Ir. Soekarno – Presiden Republik Indonesia pertama, menurut penuturan K.H. As’ad Samsul Arifin, Bung Karno meski tidak resmi sebagai murid Syekh Kholil, namun ketika sowan ke Bangkalan, Syekh Kholil memegang kepala Bung Karno dan meniup ubun-ubunya.[8]
- K.H. Irsyad Hasyim, sahabat K.H. Ali Wafa Abdul Aziz bin K.H. Abdul Hamid Itsbat, pengasuh PP. Bustanul Ulum Mlokorejo dan pendiri PP. Irsyadunnasyi’in Kasian, Jember.
- K.H. Mama ilyas al-banjari, ciamis – jawa barat.