Artikel

Kiai Abdul Wahid Khudzaifah dan Upaya Melek Literasi Tasawuf Di Madura

Oleh : H. Zainol Hasan

Muqaddimah

Masuknya Islam ke Nusantara, tidak lepas dari “mega proyek” islamisasi Nusantara yang berlangsung secara massif oleh para juru dakwah yang di Jawa dikenal dengan Wali Songo. Islamisasi berlangsung melalui jaringan perhubungan yang berlanjut secara timbal-balik dari generasi ke generasi, dari abad ke abad mulai abad ke-7M hingga abad ke-15M, antara Nusantara dengan Timur Tengah, sebagai pusat Islam.

Jaringan perhubungan dan jaringan ulama itu dilakukan oleh tokoh, juru dakwah dan Ulama yang kebetulan mereka memiliki keahliah di bidang tasawuf. Oleh karena itu, sebagaimana disebut oleh Azyumardi Azra, jaringan tasawuf, secara tidak langsung, mempengaruhi perkembangan Islam itu sendiri. Kajian tokoh lain, seperti Karel A. Steenbrink, Johns AH, Sumanto al-Qurtuby, Martin Van Bruinessen, juga meyakini bahwa da’i dan muballigh yang pertama kali datang ke Nusantara adalah para ahli tasawuf (sufi) atau guru tarekat.

Dakwah Islam yang berkarakter tasawuf, selanjutnya dikembangkan oleh para ulama Nusantara yang memiliki jaringan kekerabatan dan intelektual dengan para wali songo, baik melalui praktik langsung (dakwah bil hal), perdagangan, perkawinan, maupun melalui budaya. Islamisasi nusantara ini berjalan secara intens yang klimaksnya adalah, secara politis terbentuk kerajaan Demak di bawah kepemimpinan Raden Fatah atau Adipati Jin Bun yang didukung secara moral dan spiritual oleh para wali songo.

Selain melalui dakwah bil hal, Islamisasi juga berlangsung melalui pewacanaan (literasi). Dalam konteks ini, banyak contoh hasil karya Ulama Nusantara, misalnya, Fath al-Ārifīn, sebuah kitab yang berisi tentang pedoman praktis dasar-dasar ajaran praktek żikir bagi para pengikut Tarekat al-Qadīriyyah wa An- Naqsyabandiyyah, karya Syaikh Ahmad Khatib Sambas Kalimantan (as- Sambasi); Sirajut Thālibin, sebuah kitab tentang ilmu tasawuf, komentar (syarh) dari Minhāj al-Ābidīn, karya Imam al-Ghazālī, karya Syaikh Ihsan Jampes Kediri Jawa Timur (Al-Jamfasī); Muraqi al-‘Ubudiyah, komentar (syarh) dari Bidāyah alHidāyah, karya Imam al-Ghazālī, salah satu literasi bidang tasawuf karya Syaikh Nawawi Banten.

Islamisasi juga berlangsung melalui “pelembagaan” yang disebut dengan “pesantren”. Melalui peran pesantren inilah, Islamisasi semakin tumbuh subur di tengah-tengah kehidupan masyarakat, tak terkecuali juga yang terjadi pada masyarakat Madura. Masyarakat Madura adalah masyarakat yang memiliki nilai- nilai religious (keber-Islam-an) yang kuat. Menurut Mien Rifai, masyarakat Madura bisa disejajarkan dengan orang Aceh dan Minang di Sumatera, Sunda di Jawa dan Bugis di Makassar. Indikator yang paling realistis adalah mayoritas penduduk Madura menganut agama Islam. Para wali memang tidak secara langsung menyebarkan Islam ke pulau ini, namun lewat kerabat dan murid-murid para wali.

Dari rangkaian murid walisongo yang dianggap sebagai seorang sufi kenamaan dan sebagai arsitek atau perintis lahirnya lembaga pendidikan pesantren di Madura adalah Kiai Kholil  Bangkalan.  Ia dipandang memiliki  kedalaman ilmu agama yang luar biasa sehingga banyak santri yang ingin belajar kepadanya. Ia adalah tokoh kharismatik yang berhasil melahirkan ulama-ulama Nusantara yang kelak bukan sekadar mampu mendirikan pesantren, melainkan turut serta dalam membangun basis keilmuan yang berhaluan ahlussunah wa al-jama’ah. Beberapa santrinya, mampu menjadi pioner lahirnya pesantren besar di Jawa dan Madura. Ulama-ulama besar seperti Kiai Hasyim Asy’ari (1871-1947), Kiai Abdul Wahab Hasbullah (1888-1971), Kiai Bisri Syamsuri, Kiai As’ad Syamsul Arifin, dan kiai-kiai lainnya merupakan murid langsung yang  berhasil  membidani lahirnya pesantren besar sampai sekarang.

Diantara rangkaian generasi pelanjutnya, yang cukup layak untuk dikategorisasikan sebagai tokoh tasawuf dan pesantren adalah KH Abdul Wahid Khudaifah, Pengasuh PP Darul Ulum Nangger Sempal Sampang. Tulisan ini untuk mendeskripsikan bagaimana upaya Kiai Abdul Wahid Khudaifah agar masyarakat Madura bisa “melek” literasi tasawuf di Madura.

Upaya Kiai Abdul Wahid Khudaifah dalam “melek” Literasi Tasawuf di Madura

Pada 1959, atas saran para kiai, permintaan tokoh masyarakat, dan kebutuhan sosok ulama yang paham agama, pasangan Kiai Abdul Wahid Khudzaifah muda dan Nyai Syafiah, hijrah ke Desa Gersempal, Kecamatan Omben, Sampang. Di Desa ini, Kiai Abdul Wahid Khudzaifah mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat, utamanya pada generasi muda. Di bidang kelembagaan, pada mulanya, ia mendirikan majelis taklim yang disebut dengan istilah Tabligh Jam’iyah. Kemudian berkembang menjadi pesantren yang pada pembukaan awalnya, hanya 20 orang santri. Selanjutnya, santri semakin banyak hingga 400 santri, dan kini sudah ribuan santri. Pesantren yang dikembangkan itu, atas saran gurunya, ia namakan Pondok Pesantren Darul Ulum (tempat ilmu pengetahuan).

Kiai Abdul Wahid Khudzaifah tidak hanya fokus mengembangkan pesantren dan mengajar agama kepada santri. Beliau kembali berdakwah kepada masyarakat dan keliling dari kampung ke kampung, dari desa ke desa, bahkan merambah hingga ke luar Madura. Kegiatan dakwah semakin intensif dan terapresiasi ketika ia juga aktif di NU sejak tahun 1962. Di organisasi ini, ia aktif di bidang kegiatan bahtsul masail. Ia cukup piawai dalam memecahkan persoalan yang dialami masyarakat saat itu. Semua permasalahan status hukum dalam ajaran Islam dikupas tuntas dan dicarikan solusinya. “Karir” dan prestasi yang diraih di NU, ia adalah Rois Syuriyah PCNU Sampang pada 1980.

Pada tahun 1963, Kiai Abdul Wahid Khudzaifah juga memperdalam ilmu Tarekat Naqsyabandiyah kepada gurunya, KH Ali Wafa Muharrar, mursyid jamaah Tarekat Naqsyabandiyah di Kecamatan Ambunten, Sumenep. Selama belajar tarekat, ia tidak datang setiap hari ke Sumenep, melainkan sepekan sekali karena masih mengajar di Pesantren Darul Ulum dan mengisi pengajian. “Karir”nya di bidang ini, ia menerima ijazah kemursyidan dari gurunya pada hari jum’at, 13 Maret 1964 M atau 28 Syawwal 1383 H., dan ia berada di urutan ke 45 dalam silsilah mursyid Tarekat Naqsyabandiyah Ahmadiyah Mudzhariyah.

Karena itu, Kiai Abdul Wahid Khudzaifah tidak hanya dikenal pintar (‘alim) dalam ilmu-ilmu fiqh, tetapi juga dikenal ulama yang alim di bidang ilmu Tasawwuf, khususnya sebagai mursyid dalam Tarekat Naqsyabandiyah. Ia juga mengajarkan dan membai’at jamaah yang akan masuk Tarekat Naqsyabandiyah Ahmadiyah Mudzhariyah atau sekarang dikenal dengan Tarekat Naqsyabandiyah Gersempal.

Upaya Kiai Abdul Wahid Khudaifah agar masyarakat Madura bisa “melek” literasi tasawuf di Madura, berdasarkan penelusuran dari berbagai sumber, dilakukan melalui empat hal: Melakukan gubahan bahasa kitab al-Hikam, karya Ibn ‘Athaillah dari bentuk prosa (natsar) ke puisi (nadham), menyampaikan pesan yang efektif, melakukan program tindak lanjut, dan memperhatikan aspek psikologis masyarakat.

Pertama, melakukan gubahan bahasa kitab al-Hikam, karya Ibn ‘Athaillah dari bentuk prosa (natsar) ke puisi (nadham). Sebagaimana diketahui, puisi memiliki bahasa yang padat dan merupakan karya sastra yang bentuknya tertata dengan cermat. Hal tersebut mejadikan puisi mampu mempertajam kesadaran para pembaca akan suatu pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat bunyi, ataupun irama. Kelebihan puisi dibandingkan dengan sastra yang lainnya yakni puisi memiliki daya keindahan tersendiri, daya magnis yang bisa memikat siapapun yang memiliki perasaan yang peka. Tujuan penulisan al-Niam, sebagaimana tujuan penulis pada umumnya, adalah mempermudah santri (sālik) dalam menghafal dan mengapresiasiteks-teks materi tasawuf. Diharapkan setelah mereka hafal, dilanjutkan dengan upaya memahami dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Kedua, menyampaikan pesan yang efektif. Dalam teori komunikasi dinyatakan, bahwa komunikasi dikatakan efektif jika komunikator dan komunikan sama-sama memiliki pengertian yang sama tentang suatu pesan (the communication is in tune). Menurut Wikipedia, komunikasi efektif adalah pertukaran informasi, ide, perasaan yang menghasilkan perubahan sikap sehingga terjalin sebuah hubunganbaik antara pemberi pesan dan penerima pesan. Pengkuran efektifitas dilihat dari tercapainya tujuan si pengirim pesan. Dalam konteks ini, Kiai Abdul Wahid telah berusaha membantu dan mempermudah para santri (salik) memahami pesan (massage) kitab al-Ni’amdengan memberikan terjemahharfiyah, kata perkata, dari bahasa Arab ke bahasa Madura. Disamping makna harfiyah, pada setiap baitnya dilengkapi dengan notasi (catatan penting) atau penjelasan- penjelasan (syarh) singkat berbahasa Madura dengan tulisan pegonagar pembaca paham terhadap pesan atau maksud dari teks pada bait tersebut.

Ketiga, melakukan program tindak lanjut. Tidak berhenti pada upaya penyampaian lewat tulisan, kiai Abdul Wahid juga melakukan program tindak lanjutdengan cara sosialisasi (kajian khusus) teks-teks tasawuf dalam sebuah forum yg diberi nama SITQON (Silaturrohim Ikhwan Akhawat dan Simpatisan Thariqoh Al-Naqsyabandiyah al-mudzhariyah Gersempal di seluruh Indonesia). Selanjutnya, ia berusaha mempraktikkan isi kitab tersebut lewat pengamalan Thariqoh Al- Naqsyabandiyah al-mudzhariyah.

Keempat, memperhatikan aspek psikologis masyarakat. Masyarakat Madura adalah masyarakat yang religius. Religiuitas masyarakat Madura, secara fisik, tampak dari arsitektural rumah yang dilengkapi dengan kobhung (“musholla” kecil). Kobhung, memiliki dua fungsi: tempat shalat lima waktu dan tempat untuk tamu. Selain itu, masyarakat Madura memiliki filosofi “Bhuppa’ Bhâbu,Ghuru, Rato” (Bapak Ibu, guru, ratu). Filosofi ini adalah cerminan hierarki penghormatan dan kepatuhan orang Madura dalam kehidupan sosial budaya dan keagamaan. “Bhuppa’ Bhâbu, sebagai cermin penghormatan dan kepatuhan kepada orangtua;“Ghuru”, sebagai cermin penghormatan dan kepatuhan kepada kiai (ulama) dan “Rato” sebagai cermin penghormatan dan kepatuhan kepada Pemerintah. Peran “ghuru” (kiai), sangat sentral karena ia menjadi tempat mengadu berbagai problem umat, mulai dari konsultan agama, keluarga, bercocoktanam, konflik sosial, karier, politik, dan problema kehidupan lainnya. Dengan memperhatikan aspek psikologis masyarakat seperti inilah, maka upaya mendekatkan literasi tasawuf pada masyarakat Madura menemukan relevansi yang cukup signifikan. Di satu sisi masyarakat butuh dan rindu pada pencerahan kiai. Di sisi lain, kiai merasa berkewajiban menyampaikan salah satu ajaran agama (akhlaq- tasawuf) kepada masyakat.

Penutup

Apa yang ditulis dalam paper ini, masih sepercik dari lautan pengabdian Kiai Abdul Wahid, khusunya kepada masyarakat madura. Hal terpenting dari presentasi ini adalah bagaimana kita mengambil ‘ibrah (pelajaran) dari perjuangan dan pengabdian beliau kepada masyarakat dan agama dengan cara mengikuti suri tauladan dan perjuangannya, khususnya tegaknya ajaran Islam ‘ala Ahlus Sunnah wal jama’ah di Madura. Keteladanan itu, paling tidak, ditampakkan dalam dua hal: senang mengaji ilmu-ilmu keislaman dan berdzikir (mengingat) akan keberadaan Tuhannya di manapun kita berada.


Bahan Bacaan:

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Bandung: Mizan, 1994).

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Geografi Dialek Bahasa Madura

(Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1998).

Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek  Tentang  Islam  di  Indonesia  Abad  ke  19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994).

Mien Ahmad Rifai, Manusia Madura Pembawaan, Perilaku, EtosKerja, Penampilan dan Pandangan Hidupnya Seperti Dicitrakan Peribahasanya (Yogyakarta: Pilar Media, 2005).

Nur Syam, “Tasawuf dan Tradisi Religiositas Pertautan Tarekat dengan Budaya Jawa.” Makalah Seminar Nasional Tasawuf Nusantara  PMIAI  Universitas Paramadina, ICAS Jakarta, 17 Mei 2013.

Sumanto Al-Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa, (Yogyakarta: Inspeal Press, 2003). https://id.wikipedia.org/wiki/Komunikasi_efektif (Senin, 03Juli2017, 07.35)