NU Online – Allah tidak menciptakan dua hati dalam tubuh manusia (Al-Ahzab ayat 4).
Peran ganda manusia seringkali memunculkan kegaduhan di muka bumi ini, mereka sanggup memainkan semua peran baik peran malaikat, peran hewan bahkan peran setan sekalipun.
Dalam pandangan Islam, semua peran manusia tersebut dikendalikan oleh satu titik yaitu qolbu/kalbu (hati). Di titik pusat inilah lahir sebuah kedamaian tapi juga dari titik itu juga timbul sebuah kesengsaraan yang tak bertepi. Nabi Muhammad Saw dari Nu’man bin Basyir menegaskan fungsi hati ini :
((أَلا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ, وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ, أَلا وَهِيَ الْقَلْبُ))
[أخرجه البخاري في الصحيح]
“Ketahuilah bahwa di dalam tubuh manusia ada segumpal daging, apabila ia baik maka baik pula seluruh tubuh manusia dan apabila ia tidak baik maka buruk pula seluruh tubuh manusia, ketahuilah ia adalah hati”. HR. Bukhari
KH. Muhyiddin Abdusshamad secara gamblang menjelaskan makna hati, beliau menjelaskan dalam bukunya “Penuntun qalbu kiat meraih kecerdasar spritual” bahwa hati ada tiga makna :
Pertama, hati menurut tinjauan anatomis biologis yang menurut istilah beliau disebut sebagai ‘udwun Shanaubariyyun yaitu organ tubuh yang bentuknya mirip pohon cemara dimana antara satu ujung dan ujung yang lainnya beda besarnya, pendapat beliau ini merujuk kepada pengertian yang ada dalam kamus Al-Munjid.
Kedua, hati bermakna metafisis, yaitu tempat segala perasaan bathin dan sebagai tempat penyimpanan pengertian-pengertian dan berbagai perasaan (al-fuad/heart)
Ketiga, hati bermakna akal, memiliki daya pikir yang mengerti dan memahami sesuatu.
Tentang posisi akal dalam tubuh manusia terdapat perbedaan ulama’, pengikut Imam Syafi’i mengatakan bahwa akal itu adalah Qalbu itu sendiri, tempatnya tidak kasat mata hanya bisa dirasakan keberadaanya.
Sedangkan menurut Menurut Imam Abu Hanifah akal itu sama dengan otak.
Perbedaan ini tidak perlu diperbesar mengingat manusia memang diciptakan berbeda satu sama lain namun perbedaan tersebut tidak akan mengalangi kita untuk bersatu karena bersatu tidak harus sama.
Hari ini saya didatangi tamu yang sudah berusia kurang lebih 95 tahun, beliau hidup di masa penjajahan jepang yang beliau sebut dengan istilah “jaman nippon”. Bicaranya ceplas ceplos apa adanya tidak ada yang beliau tutup-tutupi namun kesan yang saya tangkap, apa yang beliau bicarakan keluar dari hatinya sehingga saya senang mendengarnya sampai tak terasa tiga jam berincang-bincang bersamanya.
Sangat berbeda sekali ketika mendengar ucapan orang yang syarat dengan kepentingan (ada udang di balik batu), walau kata-katanya tertata rapi sesuai dengan ejaan yang disempurnakan namun karena tidak didasari ketulusan dari hati yang paling dalam, sangat membosankan dan justru mengundang seribu tanda tanya.
Syaikh Ibn ‘Athaillah as-Sakandari secara khusus mengulas peran hati upaya-upaya membersihkannya dari perilaku buruk dan menghiasinya dengan akhlak-akhlak indah. Seperti yang termaktub dalam kata mutiaranya :
تَشَوُّفُكَ إِلَى مَا بَطَنَ فِيكَ مِنَ الْعُيُوبِ خَيْرٌ مِنْ تَشَوُّفِكَ إِلَى مَا حُجِبَ عَنْكَ مِنَ الْغُيُوبِ.
“Perhatianmu pada berbagai kekurangan yang samar tersembuyi di hatimu lebih baik daripada perhatianmu pada hal-hal gaib (kekeramatan) yang terhalangi darimu.”
Syaikh Abdul Majid as-Syarnubi (w. 1348 H/1929 M), ulama bermazhab Maliki yang juga menguasai berbagai disiplin ilmu asal Syarnub, wilayah Bahira Mesir, dalamSyarh al-Hikam al-‘Athaiyyah (42-43) menjelaskan, maksud dawuh Syaikh Ibn ‘Athaillah tersebut adalah perhatian manusia dengan mata hatinya terhadap berbagai kekurangan dan penyakit hati, seperti sombong, dendam, bangga diri, pamer, senang dengan popularitas, suka menjilat orang lain (mencari sanjungan), cinta kepemimpingan dan pangkat derajat dan semisalnya yang tersimpan rapat di hatinya, sehingga ketertarikan, minat dan tekad bulat hatinya adalah berupaya menghilangkannya dengan riyadhah dan mujahadah (laku batin) di bawah bimbingan guru yang ‘arif billah (makrifat), lebih baik daripada perhatiannya terhadap rahasia-rahasia ilahi dan berbagai karamah (kekeramatan).
Masihkan perhatian kita terus tertuju kepada perawatan fisik ? Padahal keelokan wajah dan kemolekan tubuh tak akan bertahan lama akan lapuk dimakan usia.
“HATI MEMILIKI NALARNYA SENDIRI, SEDANGKAN NALAR TAK MEMILIKI HATI”.
Demikian kata ahli matematika Blaise Pascal
Sumber : Facebook KH. Musleh Adnan (Pengurus Lembaga Dakwah Nadlatul Ulama Cabang Pamekasan)