Opini

Mempertegas Peran Lesbumi PCNU Pamekasan: Refleksi Harlah ke-61 Lesbumi

Oleh: Mohammad Hamdani*


Sejak fusi partai pada tahun 1970-an, Nahdlatul Ulama terbatasi gerak politiknya. Orde Baru yang menginginkan kekuatan tunggal termasuk di bidang kebudayaan, memberangus banyak lembaga kebudayaan. Hal ini mempengaruhi roda perjalanan NU termasuk Lesbumi (Lembaga Seni dan Budaya Muslimin Indonesia) sebagai sayap NU di bidang seni dan kebudayaan.

Lesbumi kemudian tidak lagi memiliki kepengurusan yang secara otomatis membuat gerakan Lesbumi (yang tatkala itu sebagai banom NU) menjadi tiarap selama kurang lebih tiga dekade—waktu yang tak bisa dikatakan singkat. Lesbumi baru mulai kembali aktif sejak diusulkan pada Muktamar ke-31 di Solo tahun 2004.

Bila kita tengarai sejak kelahirannya yakni pada tahun 1962, Lesbumi kini mencapai usianya yang ke-61 tahun. Dalam bentuknya yang tidak lagi sebagai badan otonom, melainkan bagian dari lembaga (lajnah) NU, Lesbumi menyebar lebih luas ke daerah-daerah melalui kelembagaan di tiap cabang dan wakil cabang NU—bahkan ranting. Tentu saja selain Lesbumi PCINU di luar negeri.

Sementara di Pamekasan sendiri, kelembagaan Lesbumi baru menyebar di lima titik MWC dan satu Ranting. Dibanding dengan keseluruhan kecamatan yang ada, hal ini belum memadai separuh dari 13 kecamatan yang ada di Pamekasan. Secara kelembagaan Lesbumi Pamekasan belum bisa dikatakan mencukupi bila diukur dari tuntutan wilayah kerjanya.

Meski PCNU Pamekasan sendiri telah mencanangkan untuk pembentukan Lesbumi di tiap MWC, hal ini rupanya tak dapat serta merta membalikkan telapak tangan. Beberapa faktor kendala; pertama, tentu adalah minimnya perhatian khusus dari tiap MWC untuk melakukan pembentukan Lesbumi. Kedua, hal ini juga menjadi sukar dipaksakan sebab memang minimnya kesadaran seni dan budaya secara merata hingga ke desa-desa di kecamatan.

Guna mengidealkan terbentuk serta masifnya Lesbumi di seluruh cakupan kerja PCNU Pamekasan, ada baiknya kita juga membaca dinamika Lesbumi secara umum. Merefleksikan kembali bagaimana pusaran wacana kebudayaan, kondisi-kondisi lapangan dan dinamika Lesbumi dari sumber hingga ke hilirnya.

Pada mula berdirinya perjalanan Lesbumi tidaklah semudah membalik telapak tangan, selain sasaran juang eksternal Lesbumi justru menghadapi sedikit persinggungan di wilayah internal NU sendiri. Sebagian ulama NU menganggap bahwa kelahiran Lesbumi sebagai bentuk “menurunkan derajat” NU.

Ini dapat dimaklumi mengingat kesenian (bernafaskan Islam) di Indonesia kala itu belumlah memiliki pusaran wacana yang cukup mapan dari disiplin estetika dan kebudayaan Islam itu sendiri. Besar kemungkinan disebabkan miskinnya dialog antara seniman (budayawan) dan ulama yang tampak dalam ketegangan antara diskursus agama dan kesenian.

Menariknya, sebagaimana dicatat Muhammad al-Fayyadl, justru soal kesenian sebenarnya menjadi salah satu bahasan di Muktamar NU Ke-1 tahun 1926. Hal ini menjadi bukti bahwa keterkaitan agama dan seni menjadi suatu bahasan yang mendesak bagi para Muassis (pendiri) NU di masa-masa awal berdirinya.

Lagi-lagi, ini juga merupakan respon situasi sosio-agama dan kultural-budaya kala itu menghadapi serangan Wahabisme yang membidah-bidah dan mengharam-haramkan hampir segala hal secara membabi buta. Ditambah, minimnya kesadaran seni dan kebudayaan pada masyarakat secara luas menjadikan kerja kesenian menjadi bulan-bulanan kecurigaan bernada (seolah) religius.

Artinya, bahkan di luar upaya perluasan kelembagaan ini pekerjaan rumah terberat daripada Lesbumi—khususnya dalam konteks Pamekasan—adalah menumbuhkan kesadaran seni dan budaya dengan berbagai cara yang mungkin. Lesbumi mesti keluar dari sekadar lembaga ‘penyelenggara acara kesenian’ dan merambah ke wilayah yang lebih mendasar; yakni pertarungan wacana kebudayaan yang melahirkan pemikir (mujtahid) sekaligus penggerak (muharrik) kebudayaan.

Untuk konteks Pamekasan, tanpa keterlibatan intelektual dari kalangan agamawan (ulama) hal ini akan menjadi lebih sukar dimungkinkan. Sebab pada dasarnya, Kiai dalam tradisi Madura utamanya, juga memerankan diri sebagai agen kebudayaan yang paling mengakar hingga ke akar rumput.

Disadari ataupun tidak, para Kiai-lah yang mengawal langsung penguatan berbagai tradisi (terutama yang berbasis agama) di tengah masyarakat. Hanya saja sedikit sekali yang berkesadaran bahwa fungsi agen kebudayaan yang selama ini dilakoni beriring dengan keinsyafan ketahanan kebudayaan itu sendiri.

Hari ini secara berkala, Lesbumi Pamekasan mengupayakan kesinambungan keinsyafan kebudayaan dengan rutin menggelar forum “Mimbar Budaya” dan berbagai kegiatan lainnya termasuk persiapan film dokumenter. Selain juga mengupayakan perluasan ataupun pembentukan Lesbumi di tingkatan MWC.

Namun kesemuanya ini hanyalah letupan-letupan, tanpa adanya gayung bersambut, kesadaran dan komitmen menyeluruh dari seluruh lapisan. Meski Lesbumi bisa dikatakan lahir dari sejarah konfrontatif, namun tanpa mengembangkan dan menyadari daripada gulir kebudayaan Pamekasan hari ini, kecintaan ataupun slogan yang tampak memedulikan kebudayaan hanya akan menjadi narasi emosional, tanpa ada lagi perkembangan dan bahkan “kebangkitan budaya”.


*Penulis adalah Ketua Lesbumi PCNU Pamekasan