Oleh : H. Zainol Hasan
Muqaddimah
Kitab “an-Ni’am ‘ala nadhm al-Hikam li Ibn ‘Athāillah” adalah salah satu kitab karya Kiai Abdul Wahid Khudzaifah. Pendiri dan pengasuh PP Darul Ulum Nangger Sempal Omben Sampang di bidang tasawuf yang berbentuk nadham (puisi) hasil gubahan dari kitab “al-Hikam” yang berbentuk natsar (prosa), karya Ibn ‘Athā’illahal-Sakandari (1250-1309 M) yang terdiri dari 264 bait aforisma-aforisma sufistik. Nadham ini juga berisi bagian kedua kitab al-Hikam tentang surat-menyurat Syaikh Ibnu Athaillah sehingga jumlah keseluruhannya sebanyak 512 bait. Kitab ini ditulis mulai pada hari Jum’at, 1 Jumadal Ula 1410/2 Desember 1989 M, dan selesai pada hari Rabu, 20 Jumadal Akhirah 1410/17 Januari 1990 M, dengan bentuk nadham (puisi) berbahar rajaz: (مستفعلن –مستفعلن –مستفعلن )
Kitab induknya, al-Hikam, adalah salah satu kitab tasawuf terkenal di Indonesia. Terdapat banyak syarh (penjelas, komentar) yang membahas dan mengurai makna kitab ini. Carl Brockelmann mencatat 17 syarh atas kitab al-Hikam ini. Diantaranya yang terkenal di Indonesia: (1). Syarhal-Hikam yang ditulis Ibn ‘Ubbadal-Nafari al-Randi (w.796H./1394M.); (2). Al-Hikam al-‘Aththa’iyah karya Abi al-Abbas Ahmad ibn Muhammad Zarruq (w.899H./1394M.); (3). Ib’ad al-Ghumam ‘an Iyqadh al-Himam fi Syarhil-Hikam, buah tangan Ahmad ibn Muhammad ibn Ajibah al-Hasani. Kitab ini merupakan syarah terhadap syarah hikam, Iyqadhal–Hikam.
Dari beberapa syarh (penjelas, komentar) di atas, sepengetahuan penulis, kitab“an-Ni’am ‘ala nadhm al-Hikam”ini adalah satu-satunya kitab syarhkarya Ulama Madura yang berbentuk puisi(nadham).Di setiap baitnya dilengkapi dengan penjelasan-penjelasan (syarh) singkat berbahasa Madura dengan tulisan pegon. Bisa dikatakan, kitab an-Ni’am ini adalah syarah (penjelas, komentar) yang pertama kali dari kitab al-Hikam yang menggunakan bahasa Madura.
Kitab al-Ni’am adalah kitab terakhir dari puluhan kitab hasil karya lainnya. Penulisan Kitab ini rampung ketika tahun akhir menjelang kepulangan beliau kehadirat-Nya. Pada masa-masa penulisan kitab tersebut, dikisahkan, ia bermimpi di datangi oleh almarhum abah, ummi, kakek, dan neneknya. Mereka seakan-akan mengelilingi beliau dan memerintahkan untuk cepat-cepat merampungkan penulisannya. Dari isyarah mimpi tersebut, ia berkesimpulan bahwa usianya tidak akan berlangsung lama lagi, sehingga kitab tersebut harus segera diselesaikan penulisannya.
Alasan Penulisan Kitab Syarah al-Ni’am
Menurut bait-bait awal, alasan atau latar belakang penulisan nadham ini adalah karena pada saat ini (ketika kitab ini ditulis, pen.), banyak orang yang sudah mengikuti tarekat (sālik). Mereka (para sālik), membutuhkan “pedoman”, petunjuk jalan yang menuntunnya menuju kepada Allah. Di samping sebagai pedoman, mereka (para sālik), juga butuh pada pembimbing yang akan menyadarkan hati yang lupa. Lalu beliau merekomendasikan agar mereka (para sālik), meluangkan waktuuntuk membaca al-Hikam karya Ibnu Athaillah. Sebaliknya, para sālik, meminta beliau untuk menulis nadham sehingga mempermudah mereka memahami kitab al-Hikam. Hal ini dapat dilihat pada bait berikut:
وبَعْــــدُ فاعْلَم أَنَّهُ لَـمَّـا كثُـــــــرْ ﴿﴾ مَنْ وَلَجَ الطَّرِيْقَ وَاحْتَاجَ الْعُبُوْرْ
بن سمارينه مذكور مك أونيغه سمفيان دأ سؤغكونه كلاكوان فنكا سمغسانه بنيأ فسيراه أوريغ سى ماسؤ طريقة بن أحاجة دأ ليبات لان جالانه طريقة
إِلَى وُصُـــــوْلِ حَضْـــــرَةِ الْإِلٰـــــهِ ﴿﴾ وَاحْتَاجَ مَنْ يُرْشِدُ قلْبَ السَّاهِي
سمفئ دفأ دأ حضرانه فغيران احاجة من دأ أوريغ سى نودواكى من دأ أتينه أوريغ سى لوفاه
دَلَلْتُــــهُ إِلٰى كِتَابِ الْـحِـــكَــــمِ ﴿﴾ فَإِنَّهُ دَوَاءُ قَلْـبِ مَـــــــنْ عَمِـــــــيْ
مك أنودواكى دأ أوريغ سى ماسؤ طريقة دأ كتاب الحكم كرنه سؤغكونه كتاب الحكم فنيكا تمبانه أتيه أوريغ سى بوتاه من
Artinya:
Setelah itu, ketahuilah bahwa ketika banyak orang yang masuk tarekat dan butuh pada jalan yang bisa sampai (wushul) di hadapan Ilahi; (di samping itu) juga butuh kepada orang yang membimbing hati yang lupa, lalu saya tunjukkan kitab al-Hikam, karena ia (mengandung) obat hati bagi orang yang buta.
وَقَدْ دَعَى بَعْضٌ مِنَ السُّلاَكِ ﴿﴾ أَنْ أَنْظُـــــمَ الْحِكَــــمَ لِلنُّسَّــــــاكِ
بن أوغكو۲ منتا دأ كوله فسيره ستغا داري بنياء أوريغ سى ماسؤ طريقة دأ كودوه انظم كوله دأ كتاب الحكم كرنه بنيأ أوريغ سى للاكوه عباده
اَجَبْتُـــهُ مُعْتَمِــــدًا لِــرَبِّــنـَـا ﴿﴾ مُتْقَـــــرِّبًا بِــــهِ فَهْــــوَ حَسْبُنَـــــا
مك أﭖـمباداني كوله دأ بعض سمبــيه افيكوكو كوله دأ فغيران كوله سمبــيه أكابـي كفرئان كوله كلابن سبب نظم مك الله أيوكوفـى دأ كوله
Artinya:
Sebagian dari Salik (pengikut tarekat) betul-betul meminta saya untuk menulis kitab al-Hikam dalam bentuk nadham (puisi) sebagai “pedoman” untuk melakukan ibadah (tarekat, pen.), lalu saya memenuhi permintaanitu seraya tetap memohon petunjuk kepada Allah, dengan (harapan) penulisan nadham ini(semoga) dapat lebih mendekatkan diri kepadaNya, karena Dialah Dzat yang mencukupi (kebutuhan) kita.
Memang –ketika paper ini dipresentasikan– muncul pertanyaan : mengapa kiai Abdul Wahid Khudzaifah, sang pengikut Tarekat Naqsyabandiyah Ahmadiyah Mudzhariyah menulis atau mengomentari (mensyarahi) kitab al-Hikam, karya Ibn ‘Athā’illahal-Sakandari yang nota bene adalah pengikut tarekat al-Syadiliyah??? Tidak ada jawaban secara eksplisit dalam teks kitab al-Ni’amini. Tetapi secara implisit dapat dikatakan bahwa kitab al-Hikam, karya Ibn ‘Athaillah ini, mampu “menembus batas-batas” tarekat “formal” yang ada. Artinya, ia bisa dijadikan rujukan tidak hanya terbatas di kalangan tarekat al-Syadiliyah saja, tetapi bisa juga dijadikan rujukan bagi tarekat lainnya. Pertimbangan untuk merujuk kepada al-Hikam ini, tidak lepas dari kedalaman permenungan spiritual, ketinggian ilmu hikmah dan kekayaan pengalaman batin yang dimiliki oleh Ibn Atha’illah. Maka tidak heran, jika banyak komentar yang memujinya.
Abdul Halim Mahmud, misalnya, mengomentari tentang isi (content) kitab al-Hikam sebagai memantulkan ilmu dan cahaya (tufidual-‘ilmwa al-nur), sedangkan Muhammad Abduh mengomentari dari diksinya bahwa kitab ini hampir saja serupa dengan al-Qur’an (kada kitabal-hikamiya kunuqur’anan). Kiai Mustofa Bisri, wakil Ra’is Am PBNU, menyatakan, aforisme al-Hikam bahasanya luar biasa, menyihir banyak orang, saling mendukung antara kata dan makna sehingga melahirkan ungkapan-ungkapan yang menggetarkan.
Terlepas dari argumentasi khusus di atas, secara umum, alasan ulama meberikan syarh (penjelasan, komentar) pada karya ulama sebelumnya, dapat dikemukakan sebagai berikut: Pertama, mereka berkeinginan untuk terus menghubungkan sanad keilmuan mereka dengan para ulama terdahulu supaya tidak ada keterputusan. Jaringan keilmuan seperti ini yang tidak terpikirkan oleh orang lain. Menurut para ulama, hal demikian penting dilakukan, agar ada kejelasan sumber pengetahuan mereka.
Kedua, para ulama tidak hanya memberikan komentar atau perluasan terhadap konten kitab tersebut. Namun, mereka juga membuat kontekstualisasi isi kitab itu dengan persoalan yang tengah terjadi atau penerapannya terhadap suatu masalah.Biasanya, dalam kitab tersebut terdapat problem di dalam kurung sebagai penanda atas pembahasan suatu permasalahan yang masih ada kaitannya dengan materi yang tengah dibahas.
Ketiga, keinginan para ulama untuk bertabaruk, mengambil berkah dari para ulama sebelumnya. Bagi mereka, mensyarahi, memberi catatan tambahan, memperjelas, atau menazamkan kitab karya para ulama sebelumnya sebagai bentuk memudahkan para santri adalah bagian dari ngalap berkah para ulama.
Ketiga hal inilah yang luput dari pantauan peneliti selain masyarakat pesantren sendiri. Para orientalis tidak melihat adanya tiga hal itu mengingat mereka hanya fokus pada teks saja. Mereka tidak mengerti ada hal yang berada di balik teks (beyond the text, mā warā’a al-nash).
Selain itu, para ulama juga pastinya mempertimbangkan hal lain, seperti memudahkan para santri, pembaca, dan siapapun yang ingin mempelajari untuk dapat memahami substansi kitab yang dinadhamkan, diringkas, ataupun yang disyarahi. Kitab yang terakhir (disyarahi), juga dapat memperluas pandangan mereka agar lebih jauh pemahamannya dan penerapannya pada suatu permasalahan.
Isi Kitab al-Hikam dan al-Ni’am
Dari sudut isi (content), kitab al-Ni’am tidak berbeda dengan kitab aslinya, kitab al-Hikam; ia berisi puluhan kata ringkas (aforisme) dengan penuh hikmah yang merupakan hasil permenungan atau pengalaman spiritual ibn Athaillah. Sebagai penganut tasawuf khuluqi-‘amali, ibn Athaillah berusaha memadukan antara syariat dan hakikat. Ini terlihat ketika ia menafsirkan ayat al-Qur’an, iyyakana’buwaiyyakanasta’in. Menurutnya, iyyaka na’budu itu adalah syariat, sedangkan iyyaka nasta’in adalah haqiqat; iyyakana’budu itu adalah Islam, sedangkan iyyakanasta’in adalah ihsan; iyyakana’budu ituadalah ‘ubudiyah, sedangkan iyyakanas ta’in adalah‘ubudah.
Sebagaimana ciri dan corak tasawuf khuluqi-‘amali pada umumnya, meskipun tidak tersistematisasi seperti yang dilakukan pemikir tasawuf lain, di dalam kitab al-Hikam ini yang juga diikuti oleh kitab al-Ni’am, dibahas tentang terminal-terminal spiritual (maqamat) dan kondisi spiritual (ahwal) yang sebelumnya telah dirintis oleh al-Harits al-Muhasibi (w.243H.) Abu Nashr al-Sarraj (w. 378 H./ 988 M.), al-Kalabadzi (w. 380 H.), al-Qusyairi (w. 465H./1072M.), Abu Hamidal-Ghazali (505H.).
Maqam-maqam spiritual yang dsebutkan dalam kitab ini, seperti taubat, zuhud, shabar, tawakkal, dan ridha. Sedangkan kondisi spiritual (ahwal) seperti khauf-raja’, tawadhu’, ikhlas, dan syukr. Bahkan, dalam kitab ini juga dibahas tentang ma’rifat,fana-baqa,dan mahabbah.
Contoh tentang maqam taubat. Seorang salik (orang yang berjalan menuju Allah) harus terlebih dahulu membersihkan diri dari dosa-dosa. Caranya, menyesali dan merasa sedih atas dosa-dosa yang telah dilakukan. Orang yang tidak menyesal dan tidak merasa susah atas dosa yang dilakukan disebut sebagai “matêna atê” (hati yang mati, buta). Walaupun begitu, banyaknya dosa yang dilakukan seseorang, tak boleh menyebabkan seseorang “pegghâ’ pangarep” (putus pengharapan) akan ampunan Allah dan justeru “pegghâ’ pangarep” itu sendiri lebih besar dari pada “dhusana bâ’na” (dosa yang kamu kerjakan).
Penutup
Apa yang ditulis dalam paper ini, masih bersifat pinggiran (periferial) untuk menyeberang jauh ke samudera pengetahuan tasawuf yang luas yang terdapat pada lautan kitab al-Hikam. Walaupun begitu, berkat kealiman dan keterampilan yang dimiliki, Kiai Abdul Wahid Khudzaifah telah berusaha membuat “wasilah” (perahu), untuk mendekatkan dan menggapai “mutiara” ilmu tasawuf ini, kepada masyarakat Madura lewat karyanya: al-Ni’am ‘ala nadhm al-Hikam.
Daftar Rujukan
Abdul Muqsith Ghazali, “Pemikiran Tasawuf Ibn Atha’illah al-Sakandari : Kajian TerhadapKitab al-Hikam al-‘Aththa’iyah”, (Jakarta: Tashwirul Afkar, edisi 32 tahun 2013).
Abi al-Abbas Ahmad ibn Muhammad Zarruq, Al-Hikam al-‘Atha’iyah, (Lebanon: Daral- Kutub al-‘Ilmiyah, 2008).
Ahmad ibn Muhammad ibn Ajibah al-Hasani, Ib’adal-Ghumam ‘an iyqadh al-Himam fi Syarh al-Hikam, (Lebanon: Daral Kutubal-‘Ilmiyah, 2009).
Ibn‘Ubbad al-Nafari al-Randi, Syarh al-Hikam, (Semarang: Thaha Putera, Semarang, tt).
Ibn Atha’illah, Al- Hikam:Rampai Hikmah IbnAtha’illah, (Jakarta:Serambi,2007).
Kiai Abdul Wahid Khudzaifah, al-Ni’am, (Sampang: Dar al-Ulum, tt).
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat. Syaikh Abu Madyan al-Maghribi, Mengaji al-Hikam: Jalan Kalbu Para Perindu Tuhan, (Jakarta: Zaman, 2011).