Dalam tradisi masyarakat madura, ada tiga orang yang harus dihormati, yakni: bhuppa’ (ayah), bhabbhu’ (ibu), guru (guru, kiai, ustaz), rato (pemimpin). Sedangkan dalam dunia pesantren, ada tiga orang tua yang harus dihormati: orang tua yang melahirkan, orang tua yang mengajarkan ilmu (guru), orang tua yang menikahkan (mertua).
Saat ini, masyarakat Madura, khususnya Pamekasan tengah ramai membincangkan tentang kasus pelecehan oleh pemilik akun Facebook Suteki kepada RKH. Muhammad Muddatstsir Badruddin, pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Ulum (PPMU) Panyeppen, Palengaan, Pamekasan yang ‘tak lain dan ‘tak bukan adalah Mustasyar PCNU Pamekasan dan PWNU Jawa Timur.
Melihat gurunya dilecehkan, para alumni yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Besar dan Simpatisan (IKBAS) PPMU Panyeppen bergerak cepat. Majelis Pengurus Pusat (MPP) IKBAS PPMU Panyeppen segera berkoordinasi dengan seluruh tingkatan kepengurusan di bawahnya yang tersebar di seluruh pelosok republik ini. Upaya ini membuahkan hasil. Tanpa menunggu waktu lama, orang yang diduga pelaku terdeteksi dan diajak ke Mapolres Pamekasan untuk klarifikasi dan mediasi.
Akan tetapi, orang yang diduga pemilik akun Suteki mengelak. Ia mengaku tidak tahu menahu terkait komentarnya di Facebook yang menyinggung banyak orang, khususnya alumni PPMU Panyeppen.
Upaya lain dilakukan oleh para alumni tersebut. MPP IKBAS PPMU Panyeppen melaporkan pemiki akun Suteki ke Mapolres Pamekasan dan mendesak pihak kepolisian agar segera menangkap pelaku.
Para alumni di seluruh pelosok Nusantara dengan berbagai profesi berbeda seperti: guru, legislatif, lawyer sampai yang sedang menjabat sebagai Kepala Desa, turut mendesak kepolisian agar segera menyelesaikan kasus ini. Karena jika tidak, kemungkinan akan terjadi gerakan massa besar-besaran.
Pelaku mungkin tidak sadar siapa yang ia lecehkan dan apa akibat yang akan ditimbulkan dari perbuatannya. Melecehkan Kiai Muddatstsir tidak hanya melecehkan PPMU Panyeppen dan alumninya. Pesantren-pesantren NU juga akan merasa sakit hati. Pasalnya, di struktural NU, Mustasyar merupakan “posisi kramat” yang diisi oleh kiai-kiai sepuh yang sangat dihormati oleh warga NU atau yang biasa disebut nahdliyin.
Hal di atas terbukti, sampai detik ini banyak dukungan moral yang datang dari pesantren-pesantren NU dan organisasi alumninya baik di Pamekasan maupun luar Pamekasan, seperti: Pondok Pesantren (PP) Kebun Baru Palengaan, PP. Taman Sari Palengaan, PP. Sumber Anom Palengaan, PP. Sumber Sari Palengaan, PP. Karang Durin Karang Penang, PP. Sumber Gedang Karang Penang, PP. Kebunsari Karang Penang dan pesantren-pesantren lainnya. Tidak hanya dukungan moral, pesantren-pesantren tersebut juga selalu siap sedia jika sewaktu-waktu dibutuhkan untuk bergerak.
Selain itu, dukungan juga datang dari lembaga-lembaga dan Badan Otonom (Banom) di lingkungan PCNU Pamekasan. Bahkan, Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Karang Penang, Sampang juga menyatakan dukungannya.
Di NU, ada Rambithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI-NU), lembaga yang khusus menangani pesantren-pesantren yang berafiliasi dengan NU. Pengurus RMI-NU didominasi —jika tidak mengatakan semuanya— oleh alumni pesantren. Di Pamekasan sendiri, tercatat ada ratusan pesantren yang berafiliasi dengan lembaga ini. Tidak sedikit pengasuh pesantren-pesantren tersebut yang masih memiliki hubungan keluarga dengan Kiai Muddatstsir. Bahkan, tidak sedikit pengasuh pesantren-pesantren di pulau Jawa yang juga masih keluarga Kiai Muddatstsir.
Sebagaimana dalam hadis, sosok kiai bagi nahdliyin tidak hanya sekedar guru dan orang tua. Lebih dari itu, kiai adalah pewaris para nabi. Oleh karena itu, nahdliyin sangat menghormati kiai dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Nahdliyin tidak akan berani duduk di tempat duduk yang biasa digunakan kiai, nahdliyin akan merasa sungkan jika tempat duduknya sejajar dengan kiai, nahdliyin tidak berani mengangkat wajahnya saat berbicara dengan kiai. Tradisi semacam ini ditanamkan sejak di pesantren.
Gus Dur pernah mengatakan, seorang santri sejati tidak akan pernah berpikir dua kali tentang apa yang diperintahkan oleh kiainya, sekalipun ia diperintahkan untuk lompat ke dalam kobaran api. Menjadi wajar jika kemudian emosi pesantren-pesantren NU tidak terbendung atas tindakan yang dilakukan oleh pemilik akun Facebook Suteki. Karena bagi nahdliyin, menghormati kiai sama halnya menghormati tiga orang sekaligus: guru, orang tua dan pewaris nabi. Begitu juga halnya ketika seseorang menyakiti kiai, berarti menyakiti tiga orang sekaligus.
Palengaan, 10 Juni 2020
Muhammad Ahnu Idris