Saya meyakini para ulama kita yang mumpuni dalam qawaid ushuliyah – qawaid fiqhiyah dan maqashid as-syariah itu paham benar akan kaidah masalahah – mafsadah; azimah – rukhsah, taklifi – wadh’i; sadd dzari’ah dan konsep kunci lainnya. Perbedaannya adalah pada aplikasi kaidah dan pemahaman tentang persoalan atau kasus yang dihadapi.
Itu sebabnya dalam bahtsul masail berkenaan dengan perbankan, para ulama akan berkonsultasi dengan ahli ekonomi; berkenaan dengan kemasyarakatan, akan berkonsultasi dengan para pakar sosiologi dan tokoh masyarakat, serta dalam hal kesehatan akan berkonsultasi dengan para dokter, sebelum mengeluarkan fatwa. Ini agar pemahaman terhadap teks nyambung dengan konteks; atau pemahaman tentang kaidah sejalan dengan aplikasinya yang diterapkan untuk kasus tertentu.
Ambil contoh soal corona. Sebagian pihak menggunakan kaidah di bawah ini:
المصلحة المحققة مقدمة على المفسدة الموهومة
“Kemaslahatan yang nyata wajib didahulukan dari pada mafsadah yang belum nyata.”
Para ulama kita yang alim dan mumpuni itu beranggapan kemaslahatan shalat jumat dan berjamaah di masjid itu sudah nyata, sementara mafsadah (kerusakan) akibat corona itu belum nyata. Kaidahnya benar. Namun aplikasinya belum tentu benar. Timbul pertanyaan:
1. Benarkah mafsadah corona itu belum nyata?
2. Siapa yang berhak menentukan status mafsadah corona tersebut?