Artikel

Siapa yang Berhak Menentukan Mafsadah Corona itu Nyata atau Tidak?

Saya akan beri contoh: dilarang menggali sumur di balik pintu karena akan mencelakakan orang yang akan melintas. Pada kasus ini, meskipun menggali sumur ada manfaatnya, namun diduga kuat (zhan) bisa membahayakan orang yang akan melintasnya. Apakah kita harus menunggu orang untuk kejeblos sumur dulu baru mengharamkannya? Di sini logika dan antisipasi ‘common sense’ berperan. Jika menggali sumurnya tidak di balik pintu, tapi di tempat yang lebih aman dari lintasan pergerakan manusia, maka hukumnya bisa berubah menjadi boleh.

Nah, sekarang apakah dugaan terhadap dampak kerusakan (mafsadah) virus corona itu sudah berada pada tingkat dugaan kuat (zhan) atau masih tidak nyata (mauhumah)?

Jumlah kasus positif virus corona hingga Jumat (27/3/2020) di Indonesia mencapai 1046 orang, bertambah 153 kasus dibandingkan hari sebelumnya. Dari jumlah tersebut, sebanyak 87 orang meninggal dunia dan 46 orang berhasil sembuh. Artinya, tingkat kematian kasus positif Corona mencapai 8,3 persen. Dari total 549.604 kasus virus corona di seluruh dunia, jumlah kematian mencapai 24.863 pasien, sedangkan 127.531 di antaranya telah dinyatakan sembuh. Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah.

Satu hal lagi yang penting, para dokter menyatakan cara penyebaran virus corona ini bisa dibawa oleh orang sehat atau terlihat sehat. Dan akan fatal ketika orang sehat yang membawa virus di anggota tubuhnya ini kemudian berinteraksi dengan orang lain yang kekebalan tubuhnya tidak sekuat dia. Pada titik ini, karena belum dilakukan tes secara masif mengenai siapa yang positif terkena, maka di semua wilayah hukum Indonesia untuk langkah pencegahan dan antisipasi SEMUA orang diduga berpotensi menularkan dan tertular virus corona.

Itu sebabnya ada gerakan #dirumahaja atau bekerja dari rumah (work form home) karena kita tidak tahu siapa yang positif kena corona atau membawa virus meski terlihat sehat. Apakah dampak ini belum dianggap nyata oleh para ulama kita? Mau menunggu sampai berapa banyak lagi yang meninggal baru kita tergerak hatinya untuk melarang orang Jumatan? Apa menunggu keceblos sumur dulu, seperti contoh sebelumnya?

Kita bicara soal nyawa manusia. Menyelamatkan satu nyawa itu seperti menyelamatkan seluruh penduduk bumi. Angka kematian akibat corona di negara kita tertinggi di Asia Tenggara. Saya ngeri membayangkan dampaknya kalau kita tidak melakukan upaya antisipatif bersama. Ini bukan langkah panik. Justru ini langkah yang sangat rasional dan terukur.