Artikel

Aksentuasi Nilai Pesantren sebagai Solusi Radikalisme di Indonesia

Oleh: Iftita Kurnia Rahmadina

Indonesia dengan predikat yang disandangnya sebagai negara multikultural dan juga penduduk muslim terbesar di dunia bukanlah suatu hal yang mudah untuk dipungkiri bahwa Indonesia menjadi salah satu barometer peradaban Islam di dunia. Implikasi dari keragaman dan tersebut Indonesia dihadapkan pada persoalan intoleransi, maraknya kekerasan mengatas namakan agama sering terjadi di Indonesia, bahkan fenomena ini sering disangkut pautkan dengan pesantren karena dianggap menyalurkan doktrin-doktrin agama yang bersifat radikal. Hal ini sungguh disayangkan melihat peran pesantren di Indonesia sangat besar dalam melawan radikalisme di Indonesia.

Rangkaian peristiwa yang berkaitan dengan radikalisme dan terorisme di Indonesia maupun di dunia, sedikit banyak menyorot umat muslim sebagai pelakunya dan agama Islam sebagai alasan dan dasar perbuatan pelaku radikal. Munculnya radikalisme dipicu atas ketidakpuasan terhadap pemerintah yang dianggap telah gagal menegakkan syariat Islam, isu-isu ekonomi yang mengalami kemerosotan dan ketidaksejahteraan masyarakat. Kaum radikalis menganggap produk sekuler telah gagal menyelesaikan permasalahan ditengah masyarakat.

Kegagalan dalam menegakkan keadilan dan hukum ini direnspon oleh kalangan radikal dengan tuntutan penerapan hukum syariat Islam di Indonesia. Akan tetapi, tuntutan ini sering diabaikan sehingga mereka frustasi dan melakukan tindakan anarkis.

Penangkapan Syahrial Alamsyah (SA) alias Abu Rara, pelaku penusukan mantan Menko Polhukam Wiranto, dan dilanjutkan dengan penangkapan 9 terduga teroris oleh Densus 88 Antiteror di wilayah Bekasi, Jakarta Utara, dan Jakarta Barat, menguak jaringan kelompok teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD) di berbagai wilayah serta rencana-rencana aksi teror mereka. Fakta ini memperjelas bahwa kondisi keamanan masyarakat terancam oleh paham radikalisme yang memapar para tersangka teroris di Indonesia. Hal ini merupakan salah satu contoh betapa bahayanya paham radikal di Indonesia, paham yang jauh dari nilai dan luhur budaya Nusantara.

Islam Radikal, dipandang dari unit analisis historis dan ekonomi politik, berakar dari adanya kesenjangan-kesenjangan di masyarakat Indonesia. Secara historis, kesenjangan tersebut terjadi karena adanya kelompok yang menguasai akses pada modal dan kekuasaan sejak era pergerakan nasional. Kelompok Islam politik yang tak terakomodasi dalam struktur politik Indonesia mengambil langkah-langkah yang radikal dan berkarakter militeristik. Paham radikalisme bukanlah produk asli dari Indonesia, melainkan sedikit banyak mengadopsi dari campur tangan Timur Tengah dengan wacana “pembaharuan Islam” sehingga rakyat Indonesia yang telah tercuci otaknya merasa hal serupa, perjuangan serupa yang terjadi di luar sana juga dirasa harus dilakukan di Indonesia.

Seperti gerakan Hizbut Tahrir yang lahir di Negara Palestina, kemudian hadir di Indonesia dengan nama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mengusung tentang bagaimana Indonesia harus menjadi negara khilafah islamiyah. Padahal secara konflik, geografis dan struktur masyarakatnya Palestina dan Indonesia sangat berbeda, lalu dengan produk yang sama HTI akan menerapkannya di Indonesia, jelas tidak bisa diterima dari segi hukum maupun sosial.

Wahid Foundation bekerja sama dengan Lembaga Survei Indonesia (LSI) telah menggelar survey nasional pada tahun 2016 terkait potensi intoleransi dan radikalisme sosial keagamaan di kalangan muslim Indonesia. Hasilnya dari total 1.520 responden sebanyak 59,9% memiliki kelompok yang dibenci. Kelompok yang dibenci meliputi mereka yang berlatarbelakang non muslim, kelompok Tionghoa, komunis, dan selainnya. Dari jumlah 59,9% itu, sebanyak 92,2% tak setuju bila anggota kelompok yang mereka benci menjadi pejabat pemerintah di Indonesia. Sebanyak 82,4% bahkan tak rela anggota kelompok yang dibenci itu menjadi tetangga mereka. Dari sisi radikalisme sebanyak 72% umat Islam Indonesia menolak untuk berbuat radikal seperti melakukan penyerangan terhadap rumah ibadah pemeluk agama lain atau melakukan sweeping tempat yang dianggap bertentangan dengan syariat Islam. Dan hanya sebanyak 7,7% yang bersedia melakukan tindakan radikal bila ada kesempatan dan sebanyak 0,4% justru pernah melakukan tindakan radikal. Jika 7,7% di proyeksikan 150 juta umat Islam Indonesia, maka akan terdapat sekitar 11 juta umat Islam Indonesia yang bersedia bertindak radikal. Kondisi yang mengkhawatirkan dan harus menjadi perhatian pemerintah untuk melakukan deradikalisasi di Indonesia.

Pesantren dan Nahdlatul Ulama (NU) adalah salah satu lembaga yang selalu konsisten melakukan deradikalisasi di Indonesia secara kultural maupun secara struktural dengan aktif menyuarakan toleransi, moderasi Islam, dan menebar kedamaian pada bangsa ini, selain itu pesantren NU dapat dijadikan ikhtiar memilih guru yang sholih dan guna menghindari terjerumus dalam kesesatan paham beragama. Sejarah panjang berdirinya pondok pesantren di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari keberadaan ulama’ atau kyai. Pada perspektif lain pesantren untuk pertama kalinya berfungsi menjadi sentral penyebaran Islam oleh Wali Songo dari pendopo-pendopo majlis pengajian masyarakat terhadulu untuk menimba ilmu agama.

KH. Sahal Mahfudz, Rais Aam PBNU memberikan pemaparan bahwa pesantren mempunyai jiwa dan watak yang jarang ditemui pada lembaga pendidikan yang lainnya, yakni: pertama, watak islami yang sangat kuat, kedua, watak sosial kemasyarakatan dan yang ketiga, watak kemandirian, jiwa perjuangan, musyawarah dan watak yang ikhlas. Atas dasar paparan tersebut, statement tentang pesantren sebagai sarang radikalisme sangat tidak tepat, karena pesantren di nusantara harusnya memiliki 3 ciri khas yaitu, inklusivisme dan keterbukaan dialogis atau musyawarah merupakan ruh dari pesantren sejak jaman dahulu. Pada konteks ini tidak ada alasan untuk tidak menjadi santri dan menimba ilmu di pesantren, karena akan tetap seimbang antara ilmu agama dan pelajaran umum.

Peran pesantren dan santri pada era saat ini juga tidak melulu tentang dakwah dari tempat ketempat yang lain akan tetapi juga menggunakan media sosial untuk berdakwah. Untuk mengisi kekosongan di dunia digital tentang perdamaian dan toleransi di Indonesia, pesantren-pesantren di Indonesia melalui santrinya telah membuat platform digital untuk mem-backup hal-hal semacam penyebaran isu hoax, SARA, intoleransi dan lain sebagainya. Termasuk peran Nahdatul Ulama’ (NU) sendiri juga mulai aktif di dunia digital mengikuti arus jaman yang sebagaimana seharusnya dengan konteks dakwah tetap sesuai dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah akan tetapi dengan konteks yang lebih modern. Hal ini membuktikan bahwa pesantren dan santri tidak bersifat stagnan justru bersifat dinamis perkembangannya, dan memiliki peran yang sangat masif serta kuat pengaruhnya untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Selain itu, pesantren NU memiliki nilai-nilai yang dapat dijadikan pelajaran bagi generasi saat ini untuk menghindari dari paham radikal, lewat tradisi-tradisi sederhana akan tetapi sangat besar manfaatnya, pertama; kedekatan santri secara langsung dengan Kyai, kedua; kajian kitab dan Islam dikaji dan dipelajari secara kaffah dan berjenjang, ketiga; santri diajarkan untuk hidup secara sosial dan tidak individual. Di pesantren santri akan terbiasa bersosialisasi dengan orang yang sekalipun berbeda dengan mereka, berbeda asal tempat tinggalnya, sukunya, budayanya, pemikirannya, akan tetapi santri tidak diajarkan mencari perbedaan itu, mereka di ajarkan mencari kesamaan diantara santri yang lain yakni sama-sama seseorang yang sedang tholabul ilmi, hal ini akan menjauhkan santri dari sifat radikal.

Radikalisme merupakan tangga pertama menuju terorisme, melakukan deradikalisasi berarti juga melakukan deterorism. Paham radikal tidak akan memiliki tempat sedikitpun di Indonesia, kaum radikal tidak paham sejarah bangsa Indonesia dan bagaimana Islam masuk ke Indonesia akan tetapi secara tiba-tiba ingin mengubah Indonesia secara revolusioner. Dari paparan di atas kaum radikal sangat membahayakan bagi kelangsungan kemajuan bangsa Indonesia karena negara ini akan hanya berkutat pada hal-hal yang sifatnya sekunder seperti yang disuarakan oleh mereka dengan mengesampingkan hal-hal primer yang harusnya lebih menjadi prioritas.

Seiring dengan perkembangan peradaban kehidupan masyarakat yang diikuti dengan munculnya paham-paham radikal dan isu terorisme, Pesantren NU tetap konsisten merawat tradisi-tradisi pesantren yang masih kental kultur budaya santri dengan kiainya, kajian kitab kuning karya ulama’ Nusantara serta kultur santri tentang gotong royong dan kekeluargaan. Hal inilah yang akan menjadi nilai positif sebagai poin deradikalisasi di Indonesia, karena melawan paham bukan lagi dengan senjata, bukan lagi dengan hukum. Melawan paham haruslah dengan paham pula, bagaimana kita melahirkan doktrin-doktrin yang sesuai dengan bangsa Indonesia.

Secara garis besar role model deradikalisasi yang ada di pesantren adalah pertama, tradisi humanis di lingkungan santri yang secara tidak langsung akan membangun karakter generasi bangsa yang berakhlak mulia. Kedua, pembekalan ilmu agama yang mempunyai dasar dan sanad keilmuan yang kuat, sehingga dapat menghindari kesalahpahaman penafsiran ayat dan hadits.
Selain itu, pesantren juga mampu menjadi penggiat media sosial dengan konteks dakwah nasionalisme dan religius, pesantren dianggap mampu untuk ikut mengendalikan derasnya arus globalisasi yang masuk ke Indonesia, sehingga dengan ini pesantren bukanlah lembaga pendidikan yang tradisional dan ketinggalan jaman, melainkan pesantren juga mampu bersaing untuk melawan radikalisme melalui setiap ikhtiarnya.

Dari segi pendidikan, pesantren akan berkontribsi kepada pendidikan Islam yang toleran, inklusif, humanis dan multikulturalis yang mengajarkan kasih sayang, kesantunan, menghormati orang lain, dan kerukunan, sehingga di masa mendatang dapat mendorong terwujudnya keharmonisan dalam berbangsa.*

*Artikel ini pemenang juara I Lomba Karya Tulis Ilmiah berbentuk essai yang dilaksanakan oleh Panitia Hari Santri Nasional (HSN) 2019 PCNU Pamekasan. Isi dalam tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.