Artikel

Haul Kiai Hasyim Asy’ari dan Badai Fitnah

PAMEKASAN – Hari ini tepat haul ke-73 wafatnya Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari, Rais Akbar PBNU. Beliau wafat menjelang subuh tanggal 7 Ramadhan 1366 H. Tidak seperti ulama masyhur lainnya, haul Kiai Hasyim Asy’ari tidak digelar dengan rangkaian kegiatan yang mewah dan besar. Melainkan hanya digelar secara sederhana. Tentu hal ini mengundang tanya. Termasuk bagi saya sendiri.

Tradisi haul ulama besar, banyak diselenggarakan di beberapa pondok pesantren di Jawa. Di luar Jawa juga ada sebagian, seperti di Lombok atau di Sumatera. Ribuan masyarakat ikut larut dalam rangkaian doa dan pengajian.

Apakah Kiai Hasyim Asy’ari menolak haul? Dalam sebuah dialog yang ditulis Aguk Irawan MN, dalam bukunya Penakluk Badai, Novel Biografi KH Hasyim Asy’ari (2012), suatu ketika beliau didatangi Kiai Romli Paterongan, Jombang. Kiai Romli bertemu Kiai Hasyim Asy’ari di Tebuireng untuk menyusun acara besar-besaran haul wafatnya guru mereka berdua, Hadratus Syaikh KH Kholil Bangkalan. Namun ajakan tersebut tidak mendapat respon dari Kiai Hasyim Asy’ari.

“Menurut saya, cukup kita bersama-sama mendoakan dengan selametan sederhana saja,” ujar Kiai Hasyim.

Jawaban itu seperti di luar dugaan Kiai Romli.

“Kiai Kholil guru kita, wali yang arif. Tidak bisa kita menggelarnya dengan cara yang sangat sederhana. Saya akan menggelar karena saya ingin menjadi murid yang berbakti,” Kiai Romli menimpali.

Kiai Hasyim kemudian menjawab lagi, “Menjadi murid yang berbakti, tidak harus dengan pemujaan yang berlebihan. Penyimpangan ajaran tarekat atau sufi, sering dilakukan oleh kalangannya sendiri. Saya kawatir, pemujaan yang berlebihan pada seseorang, membuat orang jadi tidak sadar bahwa hanya Nabilah yang ma’shum.”

Informasi ini kemudian cepat menyebar kemana-mana. Entah dari mana awalnya. Kiai Hasyim difitnah menjadi pengikut Wahabi dan sealiran dengan Muhammadiyah dan Sarikat Islam. Fitnah sebagai pengikut Muhammadiyah dan SI tidak jadi persoalan. Tapi menjadi pengikut Wahabi, fitnah yang harus dilawan. Kiai Hasyim kemudian membantah dengan menulis kitab

دررالمنتتره في مسائل التسعرة (Mutiara-mutiara yang tercecer tentang sembilan belas masalah)

Melalui kitab itulah, perlahan fitnah yang ditujukan kepada Kiai Hasyim reda secara perlahan. Bahkan hilang seperti ditelan bumi. Dialog Kiai Hasyim dan Kiai Romli Paterongan ini pula, menjadi referensi bagi kalangan NU tentang praktek haul.

Reproduksi Fitnah

Fitnah terhadap Kiai Hasyim Asy’ari dan NU memang tiada hentinya. Setahun setelah NU berdiri, badai fitnah menyelimuti NU. NU dianggap sebagai antek Hindia-Belanda. Fitnah ini disebar karena laju organisasi NU, lebih dahsyat dari organisasi lainnya yang lebih awal dibentuk.

Dalam satu kesempatan HOS Tjokroaminoto, pendiri Syarikat Islam (SI) melakukan tabayun kepada Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari di pondok pesantren Tebuireng, Jombang, tentang kegelisahannya dan massifnya gerakan NU. Tjokroaminoto menuding NU terlalu akomodatif terhadap pemerintah kafir Hindia-Belanda.

“Setelah saya amati perkembangan NU dan pemikiran Kiai akhir-akhir ini, rasanya terjadi perubahan serius pada kiai, ….” Begitu tanya Tjokroaminoto kepada Kiai Hasyim Asy’ari.

“Begini Kiai, sekali lagi mohon maaf, akhir-akhir ini setelah Tebuireng menjadi pesantren besar dan pengikut NU semakin banyak, saya merasakan sikap kiai yang keras terhadap orang-orang kafir mulai melunak. Jika salah tolong saya diluruskan,” sambung Tjokroaminoto.

Tudingan itu kemudian dijawab oleh Kiai Hasyim Asy’ari dengan mengeluarkan kitab sebagai referensi kebangsaan NU, yakni karangan Syaikh Al Mawardi (974-1058) Al Hakam Al Sulthoniyah.

Kiai Hasyim menjelaskan tiga model bentuk negara dalam kitab tersebut. Pertama, (Darul Islam) dengan hukum dan nilai-nilai Islam (syariah) sebagai hukum negara. Kedua (Darul Harb) negara atau pemerintahan yang mengancam dan menghambat pelaksanaan ajaran Islam. Ketiga (Darul Shulh) negara damai yang dipimpin oleh orang kafir yang tidak menjalankan syariat Islam tapi sama sekali atau bahkan tak tampak tanda-tanda mereka menghambat orang-orang menjalankan syariat Islam.

Menurut Kiai Hasyim Asy’ari, Indonesia berada dalam wilayah negara yang ketiga. Sisa-sisa dan ajaran Islam masa lampau, tidak pernah diganggu oleh Hindia-Belanda. Rakyat Indonesia diberikan keleluasaan menjalankan syariatnya. Bahkan beribadah ke tanah suci Makkah juga tidak ada larangan.

Tjokroaminoto tetap tidak puas atas jawaban disertai referensi kitab, karena penjajah Belanda selalu menindas pribumi, memperkaya diri sendiri dengan cara licik dan keji.

Namun Kiai Hasyim menjawab lain. Antara penjajahan dan kebebasan beragama beda persoalan. Kiai Hasyim kemudian mengambil inisiatif perjuangan politik sebagai pilihan agar Indonesia segera merdeka. Penjajahan harus segera diakhiri. Belanda harus segera dipulangkan ke negaranya.

Namun, pandangan Kiai Hasyim kemudian berbuah fitnah. Fitnah semakin meluas bahwa NU dibentuk untuk menghadang laju gerakan “tajdid”, rakyat Indonesia melalui NU agar terus primitif, NU organisasi milik Belanda dan berbagai fitnah lainnya.

Namanya fitnah, dampaknya pasti ada. Sebagian kiai dan ulama yang termakan hasutan, enggan ber NU, kecewa kepada NU. Badai fitnah terus berhembus. Hal ini seiring dengan gerakan pembaharuan di Indonesia yang dibawa oleh murid-murid Muhammad Abduh yang menyuarakan gerakan anti madzhab. Namun Kiai Hasyim bersama NU, tetap tidak gentar untuk menyuarakan gerakan bermazhab.

Dua peristiwa di atas, jika dikaitkan dengan situasi saat ini, masih sangat relevan. Badai fitnah sudah menjadi sambal dan bumbu penyedap rasa dalam ber NU. Ada banyak orang mengatakan bahwa kembali ke NU Kiai Hasyim Asy’ari. Namun segala tindak tanduknya, bersebrangan dengan Kiai Hasyim dan NU. Bahkan, orang tersebut menjadi orang yang paling produktif membuat fitnah terhadap NU.

NU akan menemukan momentumnya menjelang satu abad pada delapan tahun mendatang. Badai fitnah terhadap NU cukup besar. NU ibarat sebuah kapal di tengah samudra, yang terombang ambing gelombang. Namun karena nahkoda dan penumpangnya berisi orang-orang tangguh, tak pernah gentar dengan jutaan fitnah. NU punya akar aqidah, syariah dan moralitas yang kuat.

Pasukan siber NU selalu siap di garda depan menjadi tameng jika ada yang ingin menghancurkan NU, seperti Kiai Hasyim Asy’ari saat memimpin resolusi jihad di Surabaya.*


Taufiqurrahman Khafi, Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) PCNU Pamekasan


 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *