Oleh: KH. M. Musleh Adnan
Saat ini semesta alam mengangungkan kekuasaan Allah dengan takbir, tahmid, tasbih dan tahlil. Sebuah rentetan dzikir lawas sejak alam tercipta berisi pengakuan yang sangat substantif di mana setiap apa yang terjadi di dunia ini hanyalah interpretasi kehendak Allah.
Euforia kemenangan jamak serempak terlihat di setiap sudut jalan, tempat ibadah ceria indah terdengar saling sahut bertakbir, dan ‘tak ketinggalan kembang api ikut serta tersenyum menghiasi temaram malam 1 Syawal 1439 H.
Ramadhan nan agung telah pamit undur diri meninggalkan jiwa-jiwa yang sebenarnya masih enggan ditinggal bulan penuh berkah tersebut, namun apa daya keteraturan dan harmoni benda-benda langit berjalan sesuai perintah Allah. Akhirnya hilal yang menandakan pergantian bulan terlihat jelas oleh orang-orang yang telah dibuktikan kejujurannya dengan cara diangkat sumpah oleh petugas Kementerian Agama.
Entah sudah berapa kali kita merayakan hari kemenangan di Nusantara ini, dengan cara merayakannya khas Nusantara, yang mungkin ‘tak pernah ada di negara lain. Walaupun sepintas ada di beberapa belahan negeri yang menganggap Idul Fitri hanyalah small festival (pesta kecil).
Di Nusantara ini memberikan perlakuan lebih kepada Idul Fitri, karena Idul Fitri sebuah peristiwa istimewa yang dilatarbelakangi oleh ibadah berat berupa puasa. Tidak semua orang Islam bisa lulus melaksanakan perintah puasa ini, dan hanyalah kelompok beriman oleh Allah dipanggil untuk melaksanakan perintah puasa.
Ketika ibadah puasa selesai dilaksanakan, umat muslim bersyukur bisa menjalankan rangkaian ibadah di bulan suci Ramadhan, sehingga umat Islam di Nusantara ini merayakannya tidak hanya satu hari tapi dilanjutkan dengan ibadah khas Nusantara, yaitu Hari Raya Ketupat pada hari kedelapan di bulan Syawal, yang konon maksud hari raya ini dilaksanakan untuk mengungkapkan rasa syukur bagi saudara seiman yang melaksnakan puasa enam hari pada bulan Syawal, yang kata sabda Nabi memiliki pahala seperti berpuasa setahun penuh. (HR.Muslim)
Rasa kebersamaan dalam keluarga sangat terasa pada Hari Raya Fitri, silaturrahmi terjalin erat. Sebuah peristiwa yang sulit ditemui di luar hari raya.
Satu sama lain saling memohon maaf atas kekhilafan dan memaafkan sebagai aplikasi dan amaliah orang yang berpredikat Muttaqiin (QS. 3 : 134-136).
Nusantara ini tempat kita lahir, di Nusantara ini pula kita makan dan di Nusantara ini juga bersujud. Maka, bisa saja di Nusantara ini pula kita akan di makamkan. Marilah jaga Nusantara ini karena dia adalah rumah besar kita. (KH. Musthafa Bisri)
*KH. M. Musleh Adnan (Wakil Ketua Lembaga Dakwah PCNU Pamekasan)