Oleh: Zainol Hasan
Dalam Sidang BPUKPI 1945, Soepomo menyatakan bahwa, “Negara nasional bukan negara “a-religius” (tidak religius), tetapi negara berdasarkan nilai-nilai agama”. Sosialisasi Pancasila berdasarkan teologi Pancasila perlu dikembangkan. Pemerintah Orde Baru pernah melakukan ini melalui Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) berbasis nilai-nilai Islam. Namun karena sifat keislamannya sebatas legitimasi ayat suci tanpa pemahaman Pancasila yang holistik; Islam hanya dijadikan legitimasi.
Untuk itu, sosialisasi perlu dihidupkan dengan pemahaman baru, yakni Pancasila dari pandangan nilai-nilai teologis, sehingga tidak ada lagi alasan penolakan terhadapnya berdasarkan akidah dan syariah Islam. Di bawah ini, penulis mencoba memahami Pancasila dalam perspektif teologis dengan deskripsi sebagai berikut:
Pertama, ketika tidak ada sesuatu yang ada, baik alam semestamaupun manusia, maka yang ada hanya satu, yaitu Dzat Allah Yang Maha Ada (Allah Yang Maha Wujud). Dalam hadits Qudsi disebutkan:
كنتُ كُنزا مُخفيا فُا حببتُ اُنُ أُعُرفُ فُخلقتُ اُ لخلق، فبِي عرفونِي
“Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, lalu Aku ingin dikenal, lalu Kuciptakan makhluk, maka melalui Aku merekapun mengenalKu.”
Berdasarkan Hadits ini, tepatlah jika filosofi “Ketuhanan Yang Maha Esa“, ditempatkan pada sila pertama yang menjelaskan tentangsifat-sifat Allah sebagai Dzat yang Maha Ada (Wujud), Maha Terdahulu (Qadīm), Maha Berbeda dengan makhluk (Mukhālafatuh lil hawādits), Maha Berdiri Sendiri (Qāim bi nafsih), dan Maha Esa (Wahdāniyyah).
Kedua, dalam kesendirianNya, Allah ingin (berkehendak) untukdikenal, lalu diciptakanlah makhluk. Makhluk adalah ciptaan Allah, atau selain Allah disebut makhluk dan bersifat baru. Dalam teologi kaum
Asy’ari dinyatakan :
اللهُ هو محدثُ هذُا اُلعالم
“Allah adalah Dzat yang menciptakan (mewujudkan) alam semesta ini.“
Artinya alam semesta ini baru (hudūts); ia diciptakan dari tidak ada menjadi ada. Pandangan ini berbeda dengan teologi kaum mu’tazilah yang menyatakan bahwa alam ini qadim, terdahulu, bersamaan dengan qadimnya Tuhan. Makhluk-makhluk Allah itu berupa: alammakrokosmos, malaikat, jin, hewan, dan manusia. Diantara makhluk yg diciptakan itu, manusialah makhluk yang paling mulia. Maka dari itu, jadilah ia sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Ketiga, Manusia berasal dari Nabi Adam dan Ibu Hawā. Menuruttafsir Jalalain, Adam diturunkan dari surga berpisah dengan Ibu Hawa. Adam diturunkan di daerah Hind (India), lalu mencari Hawa dan keduanya bertemu di Jabal rahmah yang sekarang banyak dikunjungi oleh jamaah haji dan umroh. Dari Adam, timbullah keturunan yang menurut istilah al-Quran berkembang mulai dari “ahlun” (keluarga), “thāifah” (kelompok kecil),“firqoh”(kelompok besar),“qabīlah”(suku),dan “syu’bah” (bangsa). Kemudian setelah mengalami peradaban (civilized) muncul istilah “al-Qurā” (desa, daerah administratif) dan “al-balad” (negeri). “Syu’bah” (bangsa) itu bermacam-macam, ada bangsaArab, Mongol, Eropa, Cina, Amerika, dan sebagainya. Disinilah kita berdiri tegak sebagai bangsa Indonesia yang bersatu dan jadilah ia sila ketiga, Persatuan Indonesia.
Keempat. Manusia (penduduk) Indonesia sangatlah banyak. Saatini diperkirakan jumlahnya sekitar 225 juta jiwa. Dalam Hadits Riwayat Thabrani dari Ibn Mas’ud dinyatakan:
إذا كُنتمُ ثلاثة فأمرُوا أُحدكم
“Jika kalian bertiga, maka angkatlah satu (sebagai pemimpin).”
Berdasarkan Hadits ini, maka sangatlah layak dan wajar apabila jumlah penduduk yang sekitar 225 juta jiwa itu mengangkat satu orang pemimpin. Lalu bagaimana caranya? Dalam hal ini, bangsa Indonesia lebih memilih dengan cara musyawarah dengan berdasarkan ayat QS 42: 38, yaitu:
وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ
“Urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka”.

Berdasarkan nash di atas, maka jadilah sila keempat yaitu Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah / kebijaksanaan dalam Permusyawaratan / perwakilan.
Ada empat kata kunci (key word) dalam sila keempat ini. Pertama, kerakyatan. Menurut Gus Muwafiq, kata“kerakyatan”menghilangkan kesan model patron “kawulo-gusti” dalam sistem yang monarchi (kerajaan). Malahan, secara radikal, ia dapat menghilangkan terminologi “muslim-kafir” dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Istilah yang tepat untuk membedakan latar belakang agamanya adalah muslim dan non muslim. Dalam istilah “kerakyatan”, terdapat nilai-nilai “kesamaan” (musawah, equality, egalitarian), baik sebagai manusia, sebagai umat beragama, sebagai anak bangsa, maupun sebagai warga negara. Kedua, hikmat/bijaksana. Konsep hikmah/bijaksana ini diterjemahkan oleh bangsa Indonesia dengan cara memilih kekuasaan tidak tunggal, tidak bertumpu pada satu lembaga, tetapi dibagi menjadi tiga kekuasaan yang dikenal dengan istilah “trias politica”, yaitu kekuasaan legislatif (pembuat UU), eksekutif (pelaksana UU), dan yudikatif (pengawas UU). Contoh: kekuasaan Presiden dinyatakan dalam UUD 1945: “Kekuasaan Presiden adalah tidak tak terbatas.” Jika ada dua kalimat negasi, maka hasilnya adalah positif. Jadi kekuasaan presiden adalah terbatas. Ketiga dan keempat, permusyawaratan/perwakilan, dalam konteks kehidupan modern disebut dengan demokrasi. Jika prinsip demokrasi adalah musyawarah, maka ia adalah bagian dari ajaran Islam itu sendiri.
Kelima, apa tujuan yang harus ditegakkan oleh bangsa Indonesiayang telah bersatu itu ?? Itulah sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Mukti Ali dalam bukunya,MemahamiBeberapa Aspek Ajaran Islam menyatakan, dalam segi kehidupan diIndonesia, keadilan sosial ini merupakan dasar dan ideologi kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dan keadilan sosial juga merupakan sebuah cita-cita. Jadi sila kelima, adalah cita-cita yang ingin ditegakkan di bumi pertiwi yang kita cintai bersama ini.
Memang keadilan sosial itu amatlah sulit. Jangankan keadilan sosial, keadilan individual dalam satu keluarga saja, amatlah sulit melaksakannya. Oleh karena itu, ada batasan “adil” dalam Islam, yaitu “menempatkan sesuatu pada tempatnya (wadh-’u al-Sya’i ila mahallihi). Dalam hal ini patut direnungkan Firman Allah, QS. 5:8 :
وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.”
Konsep keadilan sosial adalah suatu konsep yang modern. Dalam terminologi Islam, keadilan tidak dengan makna pasif saja, yaitu antitesis dari kezaliman dan kesewenang-wenangan, tetapi ia juga bermakna aktif, yaitu mencerminkan “moderasi”, tidak berpihak atau cenderung kepada satu sisi saja, dan ia juga tidak mengisolasi dirinya dari keduanya dan tidak berbeda sama sekali dari keduanya.
Jika ditilik secara seksama, keadilan sosial itu nantinya akan menuju kepada terciptanya kebaikan bersama (al-mashlahah ‘ammah). Jika demikian, maka hal ini sesuai dengan tujuan agama (maqashid al-Syar’i) itu sendiri, yaitu mendatangkan kebaikan (jalb al-mashālih) danmenolak kerusakan (dar’u al-mafāsid).
Dari deskripsi di atas, kita berkesimpulan bahawa betapa dahsyatnya pemikiran bapak pendiri bangsa (founding fathers) kita dalam merumuskan dasar negara. Bagi NU, keterlibatan dalam merumuskan Pancasila, diwakili oleh KH Abdul Wahid Hasyim. Bahkan dikisahkan oleh Ibu Nyai Lilik Wahid (puteri Kiai Wahid), bahwa abahnya sempat “bermujahadah” dengan menjalankan puasa dan shalat istikharah dengan membaca surat al-Kahfi sebanyak 50 kali untuk mendapat “pencerahan ilahi” ketika akan membuang tujuh kata “dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam rumusan sebelumnya yang berbunyi : “Ketuhanan, “dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” lalu diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. “Mujahadah” ini dilakukan sebagai bentuk “pertangung-jawaban” di akhirat nanti ketika ia menghadap Ilahi Rabbi.
Sebagai penutup, mari kita lihat perbandingan rumusan dasar negara kita, misalnya, dengan negara Malaysia, yaitu : 1). Kepercayaan kepada Tuhan, 2). Kesetiaan kepada Raja dan Negara, 3). Keluhuran Perlembagaan, 4), Kedaulatan Undang-Undang, 5). Kesopanan dan kesusilaan. Dari perbandingan ini, kita bisa menilai sendiri betapa luhurnya nilai-nilai yang ada pada Pancasila, milik bangsa Indonesia. Wallahu a’lam bi shawāb.