Oleh: Taufik Hasyim*
Setelah mengalami gangguan, penyiksaan, pemboikotan dari kaum kafir Makkah, maka Nabi memerintahkan kaum muslimin Makkah untuk hijrah ke Yastrib, dan Nabi sendiri juga Hijrah.
Dari peristiwa inilah tahun baru Islam dilaksanakan sebagai langkah awal untuk memulai peradaban dan membangun kehidupan mandiri yang bebas dari cengkraman kaum kafir Makkah.
Hijrah ini adalah hijrah dari kemusyrikan menuju ketauhidan, hijrah dari penyembahan berhala menuju penyembahan Allah dan Hijrah dari ke-Aku-an menuju ke-Hamba-an.
Ungkapan terkenal dari Khalifah Umar Bin Khattab saat mendeklarasikan tahun hijriah ini adalah: “Hasibu anfusakum qabla antuhasabu”. Jika diartikan kira-kira begini: “Muhasabahlah kalian semua sebelum amal kalian dihisab”.
Mengutip sebuah riwayat bahwa saat setelah Nabi dan sahabat kembali dari perang Badar, Nabi bersabda: “Kalian telah pulang dari jihad kecil menuju jihad besar.” Sahabat bertanya: “Apakah jihad besar, ya Rasulallah?” Beliau menjawab: “Jihad besar adalah jihad melawan hawa nafsu”.
Maka dalam konteks kekinian makna hijrah adalah bagaimana kita mampu megaplikasikan nilai-nilai yang telah diperjuangkan oleh Rasulullah SAW, yaitu nilai dan spirit ketauhidan: hanya Allah semata Tuhan yang berhak disembah dan kita semua di bumi ini adalah hamba-Nya, serta semua makhluk di jagad raya ini adalah ciptaan-Nya, tidak ada yang berhak merasa paling benar di bumi ini serta tidak ada yang berhak merasa paling tahu kehendak-Nya hingga hanya karena perbedaan ras, beda kepentingan bahkan beda pilihan lantas kita menganggap kelompok lain sesat, salah, munafik yang karena sesat, maka boleh dihadang, boleh ditolak dan boleh diperlakukan apa saja dengan atas nama agama, padahal kita posisinya sama-sama sebagai hamba.
Sungguh picik dan egoisnya kita di saat dalam benak kita ada anggapan aku benar engkau salah, sebab di mata Allah yang maha besar kita hanya butiran-butiran debu kecil yang tak berdaya.
Siapakah kita dibanding makhluk Allah di alam tata surya yang besarnya ribuan kali ketimbang kita. Saat kita naik pesawat, pernahkan kita pernah melihat ke luar jendela? Di situlah terlihat alam luas ciptaan Tuhan, pulau-pulau besar yang di huni oleh ribuan manusia terlihat begitu kecil dari atas pesawat. Lantas siapakah kita yang berani bersikap sombong, angkuh, menganggap paling benar? Bukankah kita seorang hamba? Dan jika ada orang berbeda dengan kita, kenapa tidak kita biarkan Allah yang menghukumnya?Dan ironisnya, terkadang kita melakukan ke-Aku-an itu mengatasnamakan agama dan mengatasnamakan jihad di jalan Tuhan. Kita tak sadar bahwa orang yang kita tuduh sesat juga sedang berjihad di jalan menuju rida Tuhan.
Mari berhijrah melawan nafsu kita masing-masing.
Selamat tahun baru hijriyah 1445 H.
*Ketua PCNU Kabupaten Pamekasan